Ini Tanah Airmu, Di Sini Kita Bukan Turis!
Aline, seorang
teman make-up artist, sering tidak mengerti pembicaraan para perias yang bicara dalam bahasa Jawa atau Sunda.
Di Path, ia menulis
"Susah-susah belajar bahasa Inggris, eh sekarang pingin deh
belajar Bahasa Jawa sama
Sunda!"
Tentu saja kedua bahasa itu saat ini
lebih berguna dan dibutuhkan Aline,
mengingat profesi yang membuatnya sering merias pengantin dengan adat tradisional. Persis
begitu yang saya rasakan sekarang.
Saya teringat
kalimat Wiji Thukul pada gambar di atas (sengaja dipilih yang ada mobilnya melintas) ketika menyadari ini. Setelah berencana
akan kembali ke Malang sesudah lebih dari 10 tahun di Jakarta, saya
benar-benar merasa seperti TURIS di tanah kelahiran saya sendiri saat terakhir pulang.
Saya berencana pulang dan membangun mimpi sederhana
yang ternyata membutuhkan jalan
yang tidak sederhana untuk diwujudkan: membuat taman baca.
Tadinya saya rencana memulainya
dengan menggelar
rak berisi buku sekedarnya saja di garasi rumah orangtua saya di Malang.
Namun ayah saya, yang lebih gila buku ketimbang saya, ternyata sudah punya ajuan rencana yang lebih besar. "Kita bikin saja di
Pagelaran, Malang Selatan. Di desa itu belum pernah ada perpustakaan,"
katanya yakin sambil memperlihatkan gambar rumah joglo. Katanya nanti kalau sudah besar, bangunan perpustakaannya akan
dibuat seperti itu.
Saya bergidik, antara gentar dan gembira. Lebih dominan
ketakutan sih
sebenarnya. Tahu apa saya tentang desa, penduduk, dan
persoalannya? Bahkan hal paling sederhana yang saya sadari adalah: apakah saya
bisa berkomunikasi
dengan
penduduk sekitar? Sebagian dari mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik
dalam bahasa Indonesia, terutama sesepuhnya. Dan (saya merasa) alangkah tidak
sopannya saya, anak (sok)
muda ini
bicara dalam bahasa Indonesia di saat anak para sesepuh itu sendiri bicara dalam
bahasa Jawa halus kepada orangtua mereka masing-masing.
Ayah saya sempat beberapa tahun tinggal di desa itu di
masa kecilnya. Sedangkan saya hanya sesekali pergi ke sana. Dua sampai tiga
tahun sekali. Bahkan nyaris tak pernah lagi setelah saya tinggal ke Jakarta. Saya hanya paham apa yang mereka katakana, tapi gagap
merespon ketika ditanya. Seperti orang amnesia yang sibuk mengaduk-aduk isi
otak, mencari padanan kata yang tepat untuk kata demi kata bahasa Indonesia. Terjemahannya
barangkali bisa tiga tingkat. Bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ngoko (tingkat
terendah), kemudian ke bahasa Jawa
halus.
Akan jadi apa saya di masa awal? Ya turis! Turis yang sok ingin membuka akses baca. Tak
apa lah. Tapi tentu saja saya harus lebih dulu memahami apa yang mereka
butuhkan dan tidak butuhkan. Bukan
tiba-tiba datang sebagai sarjana sok pintar yang seakan tahu bagaimana orang
lain yang tinggal di sebuah tempat ribuan kilo dari tempatnya tinggal
seharusnya hidup.
Tentang Mengajar, Memberi, dan Siapa yang Lebih Modern
Ngomong-ngomong
soal turis yang datang dan ingin “mengajar,” jadi teringat pada beberapa poster
yang disebar oleh sebuah komunitas untuk mengkampanyekan kegiatan mereka.
Sebagian besar bagus dan menguggah semangat. Mengajak orang untuk tidak sekedar
datang ke pelosok, foto-foto, lalu selesai, tanpa bersentuhan langsung dengan
warga setempat. Padahal perjalanan yang barangkali sudah menghabiskan tabungan
berbulan-bulan akan lebih baik jika mendatangkan manfaat baik juga untuk penduduk
sekitar tempat wisata (bukan cuma sekedar membeli dagangan mereka, misalnya).
Tapi…dahi saya
berkerut ketika melihat satu dua poster lain yang mereka sebar. Salah satunya adalah
satu poster bergambar anak Indonesia Timur yang nyaris tidak mengenakan pakaian
(dalam artian atasan dan bawahan seperti orang kota), dengan caption kurang lebih berbunyi “Saat kamu ingin baju
baru, anak ini tidak punya baju untuk dikenakan…”
Saya tertegun. Bukannya
orang sana memang tidak berpakaian seperti yang kita kenakan ya? Saya jadi
ingat helikopter-helikopter yang melintas di atas tanah Papua, yang kemudian
menurunkan kaos-kaos kuning partai tertentu yang jaya di masa orde baru. Klaimnya
adalah membuat orang Papua lebih beradab.
Ishhh. Memajukan
orang Papua tidak sesederhana memberikan dan membuat mereka mengenakan baju
seperti yang kita kenakan, atau agar mereka melakukan dan memiliki apapun yang
dimiliki orang Jawa. Justru bagi saya, penjajahan sesungguhnya adalah ketika
kita memaksa mereka berlari-lari mengikuti Jawa, sementara di saat yang sama
kita juga yang memaksa mereka tinggal jauh di belakang.
Barangkali, sekali
lagi barangkali, kita perlu mendefinisikan ulang apa itu arti kata mengajar dan
apa itu arti kata modern dan beradab. Okelah kita setiap hari berkutat dengan
internet dan teknologi. Dengan ruang-ruang informasi tanpa sekat yang bahkan
bisa membuat kita terhubung langsung dengan Bu Ani Yudhoyono lewat Instagram.
Namun bagi saya,
pergi ke tempat jauh dan bertemu dengan orang-orang dengan pola pikir, bahasa,
dan cara hidup yang jauh berbeda itu juga adalah cara kita belajar. Jadi…entahlah.
Mungkin kata yang tepat selain mengajar adalah pertukaran pengetahuan dan
makna.
Mengadopsi budaya
dan pemikiran Barat dan bisa berbahasa Inggris tidak serta merta menjadikan
kita lebih modern, beradab, lebih tahu. Sarjana sering berujar bahwa mereka
akan pulang membangun desa, padahal jangan-jangan desa sudah lebih maju
daripada mereka J.
Maju dalam artian…tidakkah
kita ingin kembali mengayuh sepeda di jalanan demi udara yang lebih bersih?
Tidakkah kita ingin menanam dan mengolah
sendiri semua makanan yang kita santap? Atas nama kesehatan, biaya, ketahanan
pangan, atau apapun alasan besar kecil di baliknya? Bukannya sekedar duduk di resto,
menanti sepiring seafood seharga 100ribu yang tidak kita tahu asal usul, cara membuat, dan risikonya.
Siapa sebenarnya
yang lebih modern di antara kita?
Meminjam kalimat
pelukis Mochtar Apin, kita punya cara
sendiri menjadi modern.
PS: I really need relearning Javanese! :p
Comments