Merentang Wayang

Beberapa dalang dan perupa wayang menaikkan alisnya saat satu persatu anggota komunitas cosplay naik ke panggung. Ceritanya, di acara bertema wayang ini, anak-anak yang biasa mengenakan kostum superhero ala Jepang ini akan membawakan kostum wayang. Namun, dengan warna kostum biru, putih, merah, dan gerak langkah diiringi musik rock, kesan “pandawa lima” yang ingin mereka tampilkan agak tidak tampak. 



“Ini apa sih?” tanya Mas Jaya, seorang kenalan dalang yang datang dari Solo untuk membawakan wayang kampung. “Kok ora cocok blas,” katanya, menggelengkan kepala. Persis seperti saat ayah saya mengomentari usaha saya berbahasa Jawa halus. Sebaliknya, beberapa anak kecil yang duduk lesehan di depan saya menampakkan raut wajah antusias.

Seorang perupa wayang purwa langsung mengambil kesempatan saat pembawa acara mempersilakan penonton berkomentar. Dengan lantang tapi tetap santun, ia “mengoreksi” bagaimana seharusnya pandawa lima diinterpretasikan. Saya, yang merasa segenerasi dengan peserta cosplay, merasa pasrah. Setiap dijajarkan, saya tidak pernah tahu yang mana Bima, Nakula, Sadewa.

Maka, bagi saya, acara seperti ini serupa penelusuran DNA. Pengumpulan serpihan dan tapak-tapak para pencipta peradaban. Sebuah usaha menggabungkan detail yang membuat saya merasa layak disebut sebagai orang Jawa. Dan saya yakin saya tidak sendiri.

Namun, sayangnya, acara ini tidak terkoordinasi dengan baik. Agenda acara seputar dunia pewayangan yang diadakan selama tiga hari (Kamis – Sabtu) ini (seharusnya) padat, seperti lomba dalang remaja, lomba cosplay, pertunjukan aneka wayang : wayang kulit, wayang orang, wayang suket, dsb. Bersamaan dengan itu, digelar kongres Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi). Melihat situs internet, susunan acara, dan publikasinya, saya kira ini akan jadi acara besar.

Tapi kenyataannya…sepi. Yang datang hanya berjalan-jalan berkeliling sebentar, lalu pulang. (Well, kalau saya datang bukan untuk liputan mungkin saya akan berbuat sama). 

 “Lomba desain kostum wayangnya kami batalkan, Mbak! Nggak ada peserta,” kata panitia berkemeja batik itu. “Hah?!” cuma potongan kata itu yang menjadi respon terbaik saya. Tapi pikiran saya riuh oleh suara-suara. Setelah menghakimi pilihan si mas panitia yang mengenakan batik palsu (sebutan saya untuk batik bukan tulis dan cap), saya mencari-cari kemungkinan kesalahan lain. Memangnya brosur acara ini tidak ditempel di sekolah mode macam Esmod atau ke SMK-SMK yang punya jurusan tata busana? Rancang busana kostum wayang itu kegiatan super langka. Seandainya saya calon desainer, kemungkinan besar saya tidak akan melewatkannya. 

Saya (seperti biasa tidak ahli menahan lidah) : “Format publikasi sebagus ini, media partner sebanyak ini, sponsor-sponsor sebesar ini…?” Saya memelototi flyer yang baru saja diberikan.
Si Mas : “Ya media parternya aja yang banyak…”
Saya : (Tidak memahami kalimat di atas) Media yang sudah meliput mana saja?
Si Mbak (panitia lain yang sepertinya in-charge media relation) : MetroTV, Bisnis Indonesia,…
Saya : … (mungkin mereka juga pulang dengan bertanya-tanya seperti saya ya)

Sebagai gantinya, mas panitia menyarankan saya meliput lomba dalang remaja. Menarik sih. Tapi kan saya menulis untuk majalah perempuan 25 tahunan. Jadi saya hanya nonton dan berkeliling sebentar, lalu memutuskan pulang, dengan pikiran yang masih riuh (dan hati yang agak kesal).

Tidak ada rilis (Yes! Mereka tidak membuat pernyataan media!), dan tidak ada dokumentasi foto yang boleh diminta.  Praktis keesokan harinya saya harus kembali lagi. Dan meski agak haram bagi saya untuk bekerja di hari Sabtu, keesokan harinya saya datang kembali.

Pukul 11.00. Berdasarkan jadwal, harusnya saya sudah melewatkan satu jam acara. Ternyata…gedung wayang masih sepi. Satu rekan media yang wajahnya familiar sedang berjalan keluar. Perasaan nggak enak.
Rilis tetap belum ada. Acara belum dimulai. Tapi setidaknya ada yang sedang bersiap-siap. Wayang wong dengan lakon Ciptaning. Saya tidak ingat kapan terakhir nonton wayang orang (atau apakah saya pernah menontonnya). Kesan saya begitu menonton : jika orang menganggap JLo atau Agnes Monica itu hebat karena bisa menyanyi sambil jejingkrakan, menurut saya pemain wayang orang lebih hebat lagi. 


Hanya Semar tokoh yang bisa saya identifikasi. Selain karena fisiknya mirip papa saya (maaf ya Pa), dulu saya sempat berada dalam masa saat Aneka Ria Jenaka menjadi idola di Minggu siang. Di tengah pertunjukan, tiba-tiba Semar berseloroh, “Yo ngene iki, lek wayang wong mesti sing nonton gak akeh.” (yah beginilah, kalau wayang orang, penontonnya selalu tidak banyak).
Tokoh Begawan Ciptaning tersenyum.
Penonton yang jumlahnya tidak sampai 40 orang itu tertawa.
Saya menggigit bibir, agak frustasi. Kenapa sih Si Semar harus memperjelas kemalangan situasi ini. :(

Setelah wayang wong, pertunjukan berlanjut dengan wayang suketnya Ki Slamet Gundono.
“Saya tertarik datang dari Solo karena mendengar bahwa acara ini ditujukan untuk remaja,” katanya sebelum memulai pertunjukan.
Sejenak saya menoleh kanan kiri. Yang banyak adalah orang-orangtua. Beberapa membawa anaknya serta. Semoga si dalang tidak kecewa.

Mas Jaya, dalang wayang kampung tadi, berkata bahwa semua pengisi acara, termasuk wayang orang, datang dari Solo khusus untuk acara ini. “Menginap di mana Mas?” tanya saya. “Oh, enggak. Setelah ini langsung pulang,” katanya.

Terngiang kembali kalimat Semar yang berseloroh tentang sepinya penonton. Membayangkan berapa lama waktu yang diperlukan duapuluh seniman wayang orang itu berdandan sejak pagi.
Terbayang riuhnya umbul-umbul di luar gedung, serta logo-logo sponsor dan media partner yang berjejalan di selebaran. Teringat lomba-lomba yang dibatalkan, dan acara yang molor hingga lebih dari sejam. Memandangi lagi segelintir penonton yang semakin sore semakin sedikit.

Ini menyedihkan.

Comments

Popular Posts