Jangan Cari Uang(nya Saja)
Saya
tidak mencuri dengar tapi tak sengaja mendengar. Seorang rekan kerja menyatakan
akan pindah kantor demi gaji lebih tinggi. Atasan saya bertanya padanya,
"Kamu cari apa dalam hidup? Saya lihat kamu senang dan berkembang kerja di
sini. Jangan cari pendapatan lebih gede aja lho."
Sis, berat
banget diajak mikir hidup nyari apa! Saat itu saya berpikir, "What? Lalu kita
kerja buat apa kalau bukan untuk pendapatan lebih tinggi?" Apalagi di
Jakarta, semua pekerja kantoran mesti akrobat dan latihan sabar di jalanan
melebihi kesabaran seorang rahib di kuil, hanya untuk sekedar berangkat dan
pulang kantor. Ngapain capek-capek kalau uangnya segitu-segitu aja?
Si teman tetap
resign dan pindah ke tempat kerja dengan gaji dan -tentu saja- tuntutan lebih
tinggi. Saya nggak pernah tanya sih apa dia lebih bahagia, lebih berkembang
atau apa. Saya duga perasaannya kurang lebih sama seperti saya: kadang kami merindukan
pekerjaan kami yang gembira tapi (atau meski?) dengan pendapatan ala kadarnya
itu. Rindu sekedar nostalgila tapi tidak untuk kembali (ya macem inget mantan
SMA lah :p).
Rumus untuk “Pemalas”
Sekarang,
kurang lebih lima tahun setelah saya dengar kalimat "jangan cari uangnya
aja" itu, saya baru mulai paham
maksud eks atasan saya. Saya juga berhenti kerja dari kantor yang-menyenangkan-meski-pendapatan-seadanya
itu lebih karena ingin punya lebih banyak waktu untuk menulis fiksi. Oleh karenanya, dengan congkak saya menolak pekerjaan dengan gaji dan jabatan (dan tentu
saja tanggung jawab) lebih tinggi di tempat lain. Barangkali alasannya karena pada
dasarnya saya ini malas bekerja kantoran dan karenanya, nggak begitu perlu
jenjang karier.
Sedikit
pembenaran: kadang pemalas justru bisa mencapai sesuatu yang lebih karena
dia akan berpikir cara terefektif dan efisien untuk mendapatkan hasil yang
sama (kalau bisa lebih dari) dengan yang didapat orang lain (haha!). Intinya
saya harus terus punya pendapatan, tapi masih memungkinkan saya leluasa
melakukan hal-hal menyenangkan lain meski nggak menghasilkan uang.
Sebagai gantinya,
saya memilih pekerjaan dengan jabatan non-manajerial (cerita selengkapnya di sini). Sampai sekarang saya masih bekerja di kantor
yang sama, tapi karena pindah domisili, diizinkan bekerja dari mana saja. Di
pagi hari, saya bisa (sok) olahraga dulu dan baru mulai buka laptop jam 10
pagi. Di hari lain, saya bisa jadi perlu lembur dari subuh hingga malam untuk mengerjakan
semua artikel untuk sepekan, demi bisa mengerjakan fiksi (yang uangnya tak
seberapa atau bahkan tak ada itu) atau bepergian lebih lama bersama anak di akhir pekan. Konsekuensinya,
tentu saja jabatan saya nggak akan naik-naik dan pendapatan saya tidak sebesar teman-teman
lain yang datang secara fisik ke kantor. But hey, it’s worth it.
Orang lain mungkin juga pindah bekerja dengan gaji yang lebih rendah tapi lebih sesuai passionnya,
atau bahkan berhenti bekerja untuk mengerjakan usaha yang sudah lama ingin dia
kerjakan sendiri, meski mulai segalanya dari nol. Dan bisa jadi di sinilah kalimat usang "do what you love, and the money will come" (semoga) akan jadi nyata.
Value!
Di titik ini,
seketika jargon-jargon yang dulu belum atau hanya saya pahami samar-samar jadi
makin terang. It’s so true that “your job is not your career,” mengulang kata career
coach Rene Suhardono. Saya bisa resign dari manapun, tapi karier tetap melekat
pada diri saya. Karier saya penulis, brand saya adalah nama saya sendiri, dan
kantor saya di manapun.
Kata Henry
David Thoreau, live the life you've
imagined. As you simplify your life, the laws of the universe will be simpler. Impian akan hidup ideal saya masih sama: punya usaha yang lebih bikin gembira ketimbang stres (utopis! :D), mengetik seperlunya, lebih banyak waktu di dapur, perpustakaan, dan rerumputan. Belum kesampaian. Tapi setidaknya menguasai waktu sendiri berarti selangkah menuju ke sana.
Dulu saya dengan sombongnya nggak paham bagaimana orang bisa living a “small” life. Tidak sebelum saya tahu bahwa tiap orang punya value dengan skala prioritas yang berbeda-beda. Ada orang yang menomorsatukan karier di atas keluarga, dan bagi saya itu bukan sesuatu yang salah. Ada yang value-nya sesederhana (atau serumit?) mengerjakan hal sesuai passion, atau bisa mengantar jemput anak sekolah.
Dulu saya dengan sombongnya nggak paham bagaimana orang bisa living a “small” life. Tidak sebelum saya tahu bahwa tiap orang punya value dengan skala prioritas yang berbeda-beda. Ada orang yang menomorsatukan karier di atas keluarga, dan bagi saya itu bukan sesuatu yang salah. Ada yang value-nya sesederhana (atau serumit?) mengerjakan hal sesuai passion, atau bisa mengantar jemput anak sekolah.
Sederhananya,
seperti yang dibilang penulis Hunter S. Thompson. Beware of looking for goals:
look for a way of life. The goal isn't
the money. Decide how you want to live and then see what you can do to make
a living within that way of life.
Comments
saya akuin bgt nih blog,
kerenn abiissss mba (Y)
..
Aku baca semua postingan² di mari dan semuanya kerenn buanget kakaaa