Ticketing Thomas&Uber Cup Mengecewakan !

Lowongan kerja
Dicari : Calo Tiket Thomas dan Uber Cup
Hubungi segera PB PBSI

Sebuah kertas A4 berisikan tulisan di atas ditempel di sebuah batang pohon di antara antrian panjang orang-orang yang sedang mengantri tiket Thomas dan Uber Cup di Istora Senayan. Meski tujuannya menyindir atau bergurau, tapi tulisan di atas jelas dibuat dengan niat dan rencana karena di-print. Bukan tulisan tangan.

Kertas “lowongan” itu menjadi sedikit hiburan / bahan tertawaan bagi ratusan calon penonton yang sudah berjam-jam terpanggang sinar matahari mengantri tiket tribun untuk mendukung Tim Thomas dan Uber Indonesia.

Saya sendiri tidak menuduh calo sebagai satu faktor utama penyebab sulitnya mendapat tiket. Saya lihat para calo yang bahkan sudah mengantri sejak pukul 5 pagi ini juga belum tentu mendapat tiket. Toh jika punya uang lebih, saya juga lebih memilih membeli tiket pada calo daripada membuang waktu dan tenaga mengantri hampir seharian.

Yang saya pertanyakan adalah mekanisme penjualan tiket yang diberlakukan panitia. Awalnya saya berniat membeli tiket untuk final jauh-jauh hari. Setelah sampai di Senayan saya baru mengetahui dari penjaga loket bahwa tiket tribun hanya dijual saat hari H. Padahal yang saya tahu tiket VIP bisa dibeli jauh-jauh hari. Itu pun terbatas di beberapa kantor Bank BRI. Sepengetahuan saya, baru kali ini akses ke tiket VIP dikuasai sponsor (BRI) seperti ini. Pembeli tiket VIP, khususnya yang memiliki kartu kredit dan debit BRI bahkan bisa membeli dua tiket VIP dengan harga 1 tiket. Sementara tiket tribun hanya bisa dibeli di hari H dengan susah payah.

Bagaimana tidak susah payah. Prinsip “siapa cepat, dia dapat” sama sekali tidak berlaku di sini. Seperti yang saya alami. Hari Jumat, 17 Mei 2008, saya berangkat dari Depok ke Senayan pukul 7 pagi. Menurut informasi penjaga loket, dan dari internet, loket dibuka pukul 8 pagi. Saat sampai di Senayan pukul 9, antrian sudah sampai beberapa ratus meter, sementara loket ternyata belum dibuka.

Ikutlah saya ke dalam antrian. Antrian terus bertambah di belakang saya hingga ke ujung parkiran Senayan. Hampir setiap 15 menit sekali calon penonton yang ada di barisan depan meneriakkan kata “Buka, buka!” dengan emosi. Mereka (termasuk saya) juga tak henti-hentinya mengumpat panitia yang belum juga membuka loket. Tak jelas apa alasan panitia. Padahal tak ada bedanya apakah penonton masuk lebih awal atau belakangan. Toh penonton akan terus bertahan hingga tim Indonesia selesai bertanding.

Tidak ada yang tahu pasti kapan loket dibuka. Ada yang mengatakan pukul 11.00. Padahal jika saja loket dibuka tepat pukul 9, antrian panjang tak akan terjadi. Kalaupun tiket sudah habis dalam hitungan menit, itu pun sudah fair, karena yang mendapat tiket adalah mereka yang datang lebih dulu. Orang juga dapat segera mendapat kejelasan tanpa harus menunggu lama.

Karena hari itu hari Jumat, beberapa calon penonton pria memilih untuk meninggalkan antrian sebelum loket dibuka untuk menunaikan sholat Jumat. Tapi sebagian besar tetap berdiri di tempatnya karena tidak ingin penantiannya sia-sia.

Kami menunggu dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Berdiri di bawah teriknya panas matahari berjam-jam. Beberapa penonton juga mempertanyakan tidak ada satu pun panitia yang mengatur jalannya antrian. Bahkan panitia juga tidak terpikir untuk memberi nomor antri atau setidaknya menempatkan pembatas di kanan kiri antrian. Semakin ke depan semakin tidak jelas antrian terbagi menjadi berapa bagian. Tak jelas juga siapa yang sudah lama antri, dan siapa yang baru datang, sehingga banyak juga yang saling mengumpat satu sama lain.

Ternyata loket baru dibuka pukul 11.30. Alangkah kesalnya kami karena setelah menunggu berjam-jam ternyata loket hanya dibuka kira-kira 10 menit. Sehingga yang sempat dilayani hanya sekitar seperlima dari seluruh pengantri. Loket tutup lagi sehingga kami harus menuggu lagi tanpa kejelasan kapan loket akan dibuka kembali dan berapa jumlah tiket yang masih tersedia. Beberapa orang mengatakan pukul 13.00, setelah sholat Jumat. Jadi kami menunggu. Sementara antrian sudah semakin tidak beraturan. Calon penonton semakin sering berteriak mengumpat panitia atas ketidakjelasan ini.

Lewat pukul 14, ternyata loket belum juga dibuka. Ada yang mengatakan loket baru dibuka pukul 16. Itu berarti dua jam lagi kami harus menunggu tanpa kejelasan. Beberapa orang yang sudah menunggu sejak pukul 7 pagi tapi belum mendapat tiket akhirnya menyerah karena kelelahan.

Tak lama kemudian saya juga memutuskan untuk keluar dari antrian (atau lebih tepatnya kerumunan orang) setelah 5 jam sia-sia mengantri di bawah terik matahari. Bahkan ada juga penonton yang sudah mendapat tiket tapi tidak bisa masuk ke Senayan karena penuhnya penonton yang sudah di dalam. Tak jelas bagaimana hal ini bisa terjadi. Di Kompas diberitakan juga pegawai stasiun televisi yang mendapat hak siar (TRANS corp) bisa keluar masuk dengan mudah.

Banyak juga yang mempertanyakan apa fungsi polisi yang saat itu bertugas di Senayan. Padahal situasi akan sangat jauh berbeda jika mereka menertibkan barisan antrian, bukannya hanya duduk-duduk tak jauh dari lokasi loket.

Saya sangat menyayangkan panitia yang tidak mempersiapkan dengan baik sistem penjualan tiket ini. Hal yang seharusnya tidak terjadi dalam pertandingan sekelas Piala Uber dan Thomas Cup. Padahal di antara para pengantri pasti juga ada warga negara lain yang ingin menyaksikan tim dari negaranya bertanding. Sungguh mengecewakan !

Comments

Bener-bener nggak belajar dari pengalaman...
Kaya baru pertama kali jadi tuan rumah!

Popular Posts