Natal yang Banal


Perayaan Natal, seperti juga Lebaran, adalah sebuah paradoks. Keduanya adalah perayaan yang rentan kehilangan makna jika orang tidak berhenti sejenak dari semua kesibukan menyambut hari raya itu dan berpikir : untuk apa saya melakukan ini?

Esensi puasa, yang antara lain adalah menang melawan hawa nafsu, ternyata tidak berlaku di mall, tempat orang berburu memborong berbagai barang. Seakan lebaran tak pernah ada tanpa semua benda itu. Sedangkan perayaan Natal yang mewah seakan menjadi penegasan bahwa manusia telah gagal meneladani kesederhanaan Yesus, yang dikisahkan lahir di kandang domba, jauh dari kemegahan.

Keberadaaan pohon natal, sinterklas, gemerlap lampu, hadiah, makanan menjadi benda yang mutlak ada dalam sebuah event bernama “natal.” Tak peduli masih adakah “tempat” untuk bayi Yesus; tertimbun berbagai benda, mitos, tradisi, yang sebenarnya nyaris tak ada hubungannya dengan kedatangan Yesus sendiri.

Gereja perdana tak pernah merayakan hari kelahiran Yesus (yang memang tak pernah diketahui kapan tepatnya). Natal baru dirayakan pada abad ke-4 saat Romawi, yang masih kental dengan tradisi pagan, menjadikan 25 Desember (menyambut kembalinya matahari ke belahan bumi bagian utara) sebagai perayaan hari kelahiran Yesus.

Setelah lebih dari dua ribu natal berlalu, momen ini harus punya makna baru, jika tak ingin jadi tradisi usang yang hampa atau sekedar ikut-ikutan. Makna yang bisa jadi sangat personal bagi masing-masing orang ; atau setidaknya memeriksa…di mana Yesus di tengah semua keriuhan ini?

Comments

afu el_fahdy said…
Wow....full of progressive critics.
duh2...aku suka nih type orang yang kayak gini...

tp sayangnya aku blm mahir menulis,,hehe

one day..i'll be what i was not!!!

Popular Posts