Thanx to Twitter & Facebook. Things become So Easy...or Not?

Thanx to the social media. Sekarang sangat mudah mendapat dan memberitakan sesuatu dari dan ke seluruh dunia. Kabar penting, cerita bahagia, kisah galau, dan juga…umpatan. Sangat mudah berbicara dengan siapapun dari kasta manapun yang dulu cuma bisa dilihat di infotainmen atau di istana negara. Tinggal mention, kirim pesan pribadi, atau nulis pesan di wall (tentu saja dengan harapan orang yang kita tuju tak mensetting akun mereka dalam status protected/locked). And…surprise! Kadang beberapa dari orang-orang terkenal itu benar-benar membaca dan membalas mention/ pesan kita.

It’s easy.
Too easy.

But there’re always two sides of a coin. Kadang saya berpikir bahwa sebenarnya sungguh tidak mudah hidup di zaman serba mudah ini. Tidak hanya mudah menjangkau orang yang kita idolakan (terlepas dari apakah mereka merespon balik), tapi juga sangat mudah menjangkau orang yang tindakannya tidak kita sukai. Atau setidaknya, membicarakan tindakan mereka yang menurut kita salah.

Sebut saja orang-orang/lembaga yang sering jadi trending di twitterland, seperti Bpk. Nurdin Halid (tumben saya panggil bapak :-D), Tifatul Sembiring, Gayus, “TV merah,” PSSI, Bakrie, SBY. Tindakan / ucapan / pola pikir orang-orang ini (yang mungkin juga cuma salah kita mengerti) memang bikin kita geleng-geleng kepala dan mikir “Is he mad?!” atau “Nyesel dulu ngedukung dia!” atau “Bego banget sih!” Saking frustasinya, mau ngadu ke mana lagi selain mengetik sumpah serapah ke twitter.

Khusus Bpk Tifatul Sembiring yang kebetulan punya akun Twitter, sejujurnya saya ngeri juga baca komentar orang-orang yang langsung tertuju ke akun twitternya. Entah terbaca atau tidak, tapi kalau saya ada di posisi beliau, mungkin rasanya mengenaskan juga ya. Salut untuk kesabaran beliau untuk tidak merespon semua twit umpatan itu.

Berkaitan dengan umpat mengumpat ini, baru tadi pagi saya mikir…niat saya apa ya ikut-ikutan menyatakan ketidaksetujuan saya sama tindakan si X, pakai kata-kata mutiara pula’ (s*rap, bo*oh, dll). Ini yang saya bilang nggak mudah hidup di zaman mudah.  Saking gampangnya cuap-cuap, maka menahan diri untuk hanya berkomentar yang isinya bermanfaat itu (ternyata) jadi mahasusah.
Angkat bicara tentang current issue apapun itu boleh banget, harus malah. Tapi ada perbedaan super tipis antara menyatakan pendapat dengan mengumpat. Antara konsistensi dengan selalu merasa benar sendiri. Antara memberikan solusi dengan menutup kemungkinan ada kebenaran dalam pendapat orang yang sudah kita cap bersalah.
Bagaimanapun kita gemes sama tindakan orang lain, selalu ada yang bisa kita teladani dari mereka (misalnya, segemes apapun saya sama alm. Soeharto, saya memuja propaganda beliau yang sukses membius generasi 5 dasawarsa. Hehe).

Saya sih (sedang berusaha) tetap percaya tujuan yang baik mestinya bisa dicapai dengan cara yang baik. Kritik yang tujuannya membuat jadi baik mestinya juga bisa disampaikan dengan cara yang baik.
And yes, it is so not easy.

PS : specially written for my dearest friend as well as best rival, Lya. Sungguh menyesal sudah lalai mengecek niat sebelum berkomentar.

Comments

Nana said…
baca tulisanmu serasa lagi ngaca... sering banget tuh mengumpat di twitter, krn sptnya twitter sdh jd sarana pelampiasan emosi juga... barangkali, selama in kita (atau aku, lebih tepatnya), tidak pernah punya saluran komunikasi selangsung ini. jadinya sekarang sekacam euforia... tapi aku malah sangat ingin kepala daerah itu punya twitter, krn seringkali mereka merasa semuanya baik-baik saja karena tidak ada keberatan secara langsung...
well, aku sepakat... hal baik pun harus disuarakan dengan cara yang baik :)

Popular Posts