#LewatDjamMalam

Iskandar baru saja kembali pulang dari perjuangan perang kemerdekaan. Sekuat tenaga, ia berusaha menjadi manusia "normal" seperti rekan-rekannya yang telah lebih dulu pulang. Mengenakan pakaian perlente, ia bekerja di kantor, tidur di rumah (calon mertuanya) yang nyaman, datang ke pesta, dan bersiap memiliki istri. Namun, pemikiran ulangnya tentang revolusi yang selama ini – ia kira – ia perjuangkan, menyanderanya.


Bolak balik ia bertanya, pada dirinya sendiri dan Gunawan, mantan atasannya, "Apakah orang-orang yang telah kubunuh itu memang benar-benar bersalah?" Ia terus dibayang-bayangi wajah dan tangisan wanita dan anak-anak yang telah ia bunuh atas nama revolusi.


“Bersalah atau tidak, itu tidak penting untuk revolusi!” jawaban Gunawan itu lambat laun membuat Iskandar yakin, bahwa laki-laki itu sebenarnya hanya memanfaatkan “revolusi” dan dirinya untuk mengambil harta jarahan para korban yang ia tuduh sebagai pengkhianat, untuk memperkaya diri sendiri.

Iklan #LewatDjamMalam saat itu. Setelah film selesai, saaya & semua penonton menunggu-nunggu credit title, tapi tak muncul. Anggaplah ini sekaligus credit title :)


Kondisi yang familiar dengan situasi sekarang kan? :) Yang mengagumkan, di tahun 2012 ini sekalipun, butuh keberanian luar biasa untuk membuat film yang menyorot sisi gelap sebuah pergerakan yang oleh sebagian besar orang dianggap suci. Bayangkan bagaimana legenda perfilman Indonesia, Usmar Ismail, membuat film itu pada 1954. Saat itu, bahkan kudeta atas nama revolusi pada 1965 saja belum terjadi.


Entah karena menyadari bahwa film ini begitu penting sebagai sebuah catatan sejarah maupun sebagai karya seni, National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang didirikan sineas dunia Martin Scorsese, merestorasi (memindahkan versi asli ke dalam bentuk digital) film berjudul “Lewat Djam Malam” ini. Sebelum diputar di Indonesia, film ini telah diputar di Festival Film Cannes pada 17 Mei, dalam kategori World Classic Cinema.

Saat bersiap-siap akan menonton film itu, saya sudah merelakan diri (dan uang) saya, untuk menerima kenyataan jika saya memang tidak akan benar-benar mengerti isi film itu karena ke”klasik”annya (semua yang berjudul klasik sering dianggap berat kan?). Karena tadinya tak berharap mengerti, jadi saya menonton film ini semata-mata untuk memuaskan rasa penasaran saja. Saya ingin tahu kenapa film ini dianggap penting – dan memang demikian. Ditambah lagi mengingat bahwa restorasi film ini menghabiskan dana 3 M. Dari jumlah itu, Indonesia hanya menyumbang 25 juta ;).


Jadi, saya pikir, betapa sayangnya melewatkan film yang di Jakarta, hanya diputar di Blitz Grand Indonesia (itu pun pukul 12 siang saja – yang pasti sepi penonton), dan di Plaza Senayan itu. Di waktu tayang yang seharusnya ramai pun film ini tetap sepi peminat sih. Hanya ada sekitar 30 orang, itu pun sudah bersama saya dan 4 teman.


Nyatanya, film yang “hanya” menceritakan kisah utama Iskandar dalam 24 jam itu sangat gamblang. Sederhana, tapi tajam. Dialog-dialognya menusuk, ke hati dan pikiran. Berikut beberapa petikannya :

“Revolusi belum selesai! Kau tahu itu. Apa guna merdeka, jika periuk nasi kita masih ditentukan oleh orang asing?”

“Aku seperti orang asing yang hidup dalam lingkungan orang-orang yang suka bicara yang bukan-bukan. Mereka tidak bersungguh-sungguh melakukan sesuatu.” (Iskandar tak habis pikir bagaimana orang bisa “santai” berpesta atau duduk di kantor, saat “revolusi” belum selesai)

“Kalau mau jujur, jangan hidup di sini!” (Gunawan – koruptor- pada Iskandar)

Puja (germo), membicarakan Laila – PSK yang mengoleksi gambar-gambar benda yang ingin ia beli suatu saat nanti : “Kerjanya hanya memimpikan hal-hal yang tidak mungkin bisa ia miliki.”
Iskandar : “Semua kita mengira kita bakal kaya. Apa bedanya dengan Laila?”

“Siapa yang akan kita lawan? Pemerintah? Bukankah dulu kita berjuang menegakkan pemerintah?

“Kau tak boleh menjadi hakim sendiri.”


“Siapa yang tidak kuat melawan kelampauan, akan hancur.”






Comments

Popular Posts