Ke Tanah Melayu

Beberapa hari sebelum  liputan hore ke Malaysia, sesekali pikiran saya sudah sibuk memilah antara “kami” dan “mereka,” orang Malaysia. Apa yang menjadikan kami “Indonesia” dan apa yang membuat mereka “bukan Indonesia.” Menginventaris apa yang kita miliki, dan apa yang tidak mereka miliki.

Beberapa jam awal berada di Kuala Lumpur, ternyata sangat mudah untuk segera merasa seperti di “rumah.” Seperti berada di  sebuah kota di Indonesia dengan versi yang lebih tertata. Dengan ruang yang lebih lapang untuk pejalan kaki, pohon dan taman yang lebih banyak, monorel yang tak membelah jalanan karena melintas di atas, dan bus yang layak dan nyaman. Sesekali macet, tapi bukan apa-apa dibanding Rasuna Said pukul 6 petang. 


Rasanya seperti makin berada di rumah, saat saya memencet remote TV dan mendengar logat Jakarta dalam sinetron pendek Indonesia. Pindah ke saluran lain, ada liputan wisata yang dibawakan sepasang artis Malaysia ke Medan. Di saat lain, sebuah kuis diadakan dengan hadiah paket liburan ke Bandung. Suasana Indonesia semakin lengkap dengan suara penyanyi Indonesia, Rosa, yang terdengar dalam taksi yang membawa saya dan beberapa teman menuju Malaysia Tourism Center, yang akan membawa kami tour keliling kota. 

Sempat keki, saat tour membawa kami mampir ke sebuah toko produsen dan penjual batik, yang kata sang tour guide adalah busana nasional mereka. Saya berusaha terus mengingat bahwa batik itu memang ada dan berasal dari berbagai tempat di dunia, dengan motifnya masing-masing. Motif khas Malaysia, adalah flora. Juga dilukis dengan canting, tapi dengan kain dibentangkan, dan dalam posisi berdiri. Jelas berbeda dengan yang dilakukan ibu-ibu pembatik di Jawa yang bersimpuh membatik motif-motif batik yang lebih detail. 

Berada di dalam toko batik, yang juga menjual aneka barang kerajinan lain, serasa seperti berada dalam toko souvenir di Yogyakarta atau Bali. 


Kami tak membeli apapun. 

Museum Nasional adalah tujuan kami selanjutnya. Isinya tentu tentang sejarah Malaysia, yang pasti juga adalah sejarah Nusantara. Saya tertegun saat menatap sebuah Kitab Bahasa Melayu - tafsir Jawa yang ditulis dalam aksara Jawa, berasal dari Pattani, Thailand Selatan. 

Selanjutnya, berbagai benda yang tak  asing seperti keris, dan keris besar yang mereka sebut sundang, wayang, hingga relief Candi Borobudur, mengisi sebagian besar isi museum. Pakaian adat yang dipajang adalah baju kurung Sumatra yang saya kenakan saat perayaan pernikahan saya di Bengkulu. 

Mendadak saya tak lagi mampu dan tak mau memberi batas antara “kami” dan “mereka,” orang Malaysia.
Rumah adat Malaysia juga adalah rumah panggung seperti di Sumatra.
Ayah sopir yang mengantar kami, adalah orang Medan. Seorang pedagang kaki lima di China Town, Jalan Petaling, yang menjual barang dengan harga sangat murah pada kami, ternyata lahir di Surabaya.

Melihat mereka, kami, kita, saya mulai melihat dunia dalam gambar yang lebih besar sebagai satu kesatuan.

"Race is a social concept, not a scientific one.
--  Dr. J. Craig Venter

Scraps of trip

-    Seorang pedagang kaki 5 di China Town (yang lahir di Surabaya tadi), menawarkan tumpukan kaos souvenir Malaysia seharga 6 ringgit, sambil berkata “Ini buatan Indonesia juga. Murah. Orang Singapur juga beli dari Indonesia.” Ia bilang, kaos-kaos itu tadi siang sudah diborong orang-orang Indonesia yang beli untuk oleh-oleh. Diimpor untuk dibeli lagi oleh Indonesia :-/
-    Pusat kajian Bahasa Melayu ada di 15 negara (termasuk Swiss dan Jerman), yaitu yang di universitasnya menawarkan program studi bahasa Melayu. Tapi Indonesia tak ada dalam daftar tersebut.
-    Saat janjian dengan sopir yang mengantar jemput kami di KL, tanpa ragu kami menyebut sebuah plang di depan kami bertuliskan “Laluan Sehala,” yang kami kira adalah sebuah nama jalan. Esoknya, kami baru sadar bahwa plang tersebut ada di hampir seluruh penjuru kota. Ternyata Laluan Sehala berarti : jalan satu arah. Hehe

Comments

Lya said…
Indonesia yg lebih tertata...

Popular Posts