Dari Mata Orang Seberang

“Can I go with you?” tanya pria itu ringan, tapi penuh harap. Rambutnya yang pirang tersembunyi di balik topi hitamnya. Matanya biru. Ranselnya terlampau ramping untuk perjalanan seminggu yang ia katakan akan diselesaikannya sehari lagi.

Laki-laki yang menyebut Australia sebagai tempat tinggalnya itu berujar akan meninggalkan Jakarta menuju Medan pukul tujuh malam. Sementara menunggu waktu itu tiba, ia belum punya agenda ke mana pun. Matanya langsung berbinar saat saya menyebut “Museum Nasional” sebagai tempat tujuan saya siang itu.
“Sure,” jawab saya. Tidak yakin, tapi pasrah.
“Great!” ia tertawa senang seperti anak kecil, lalu kami berjalan bersama.

Seperti kebanyakan pria Barat, laki-laki bernama Steve itu memang sama sekali tidak membosankan dan cenderung blak-blakan. Usianya 50. Tapi saya sama sekali tidak merasa sedang ngobrol dengan seorang bapak.

Di Melbourne, kota asalnya, ia hidup sebagai produsen madu. Dengan menabung selama sebelas bulan, ia selalu berlibur setahun sekali ke beberapa negara, dengan Indonesia sebagai tempat transit.

“You know what, men fall in love three times a day,” laki-laki itu berujar tanpa bermaksud berkelakar. “Pardon? Oh, I see. I believe so,” saya merespon, membenahi keterkejutan menjadi tawa. Saya tidak terkejut pada fakta yang diucapkan Steve. Saya hanya terkejut karena laki-laki itu mengungkapkannya.

“When I thought that I fall in love with you, I saw the woman beside you and admire her beautiful hair,” ia mengoceh tanpa basa-basi. “But you know why I’m still single? It’s because I always want to be with a woman who don’t want to be with me. But in the other time, I met a woman who I don’t want to be with, but she wants to be with me. It’s tragic!” ia tertawa. Saya hanya tersenyum, bingung merespon apa.
           
Sampai di tujuan, Steve menunjukkan kekagumannya pada apapun yang dipajang di ruang pameran Museum Nasional. Ia membaca detail setiap data, dan memperhatikan setiap peraga dari dekat. “It’s amazing!” katanya setiap lima menit, lalu membidikkan kameranya ke segala arah.

Saya bersyukur semua keterangan yang diperlukan untuk menjelaskan setiap baju adat, kegiatan di masa lampau, senjata, hingga bentuk rumah adat dari seluruh propinsi sudah ada di setiap display dalam dua bahasa. Saya sendiri tak akan mampu menjelaskan semuanya dengan bahasa dan ingatan di kepala saya sendiri.

“Sit over here!” Steve memerintah. Laki-laki itu duduk di sebuah bangku kayu di tengah-tengah ruangan. Kami sedang berada dalam ruangan penuh jajaran kain tradisional. Sambil menarik napas, Steve berkata, “This is the way we feel them. See and absorb…” ia melebarkan tangannya, kemudian menarik napas. Diam-diam saya juga menghirup dan menghembuskan napas perlahan seperti yang dilakukan Steve sambil menatap kain-kain batik dan songket indah di sekeliling.

Damai.

Satu jam kemudian, kami berada di tempat lain, Galeri Nasional. Kebetulan, katanya, ia akan naik bus Damri ke bandara dari Stasiun Gambir, di seberang galeri. Ia bercerita tentang begitu banyak tempat di Indonesia yang hingga kini belum juga saya kunjungi dengan berbagai alasan. Dua di antara alasan-alasan itu adalah waktu dan uang.

Ia membuat saya lagi-lagi merasa seakan-akan ia yang adalah orang Indonesia, sedangkan saya hanya pendatang yang menumpang. “I know your country better than you,” kata-katanya makin memperlebar jurang.

Sejurus kemudian, tiba-tiba laki-laki itu menatap ke kejauhan, lalu terdiam sejenak, dan berujar, “It’s a beautiful country. But I’ve also seen so many heartbreaking moment…” Sebagai backpacker, Steve biasa berjalan kaki menyusuri jalan-jalan raya tak bertrotoar di Jakarta, melintas di sela-sela pengemis, naik Kopaja usang, juga ojek jika tak tahan tersandera macet. Setiap kali datang ke Jakarta, ia selalu bermalam di sebuah penginapan di Jalan Jaksa. “No luxury…” ia berujar berulang kali. Kamar sempit, tak ada AC, tanpa pemanas air. 

Beberapa detik kemudian, raut wajah Steve berubah serius. Seperti sebuah akuarium, ia begitu terbuka hingga setitik saja mendung di wajahnya dapat terlihat. Lalu perlahan laki-laki itu berkisah tentang pengalamannya tempo hari. Saat berjalan pulang dari sebuah kafe ke penginapannya, ia berpapasan dengan seorang wanita yang terlihat tengah memukuli seorang anak. Pukul satu dini hari.

Terkejut, Steve mencoba melerai. Tapi wanita itu tidak membiarkan Steve, tentu saja. Ia menarik tangan si bocah, lalu pergi membawanya. Steve menduga, wanita itulah yang sedang mabuk. Steve berteriak meminta siapapun yang melihat mereka saat itu untuk menghentikan si wanita. Tapi semua orang yang melintas benar-benar menyangka ia hanya seorang bule yang sedang mabuk.

Dengan frustasi, saat itu juga Steve pergi ke kantor polisi tak jauh dari Jalan Jaksa. Saya membayangkannya melapor pada polisi dengan cara berapi-api seperti yang sedang ia lakukan saat itu di hadapan saya. Polisi bilang, mereka menerima laporan Steve, dan akan menghubunginya kembali dalam waktu 1x24 jam. Tapi seperti dugaan saya, itu tidak terjadi.

Hampir dua kali 24 jam, tak ada kabar, ia kembali mendatangi kantor polisi. Polisi yang sedang piket adalah polisi yang berbeda dengan yang ia temui tempo hari. Keterbatasan bahasa membuat si polisi tak begitu mengerti apa yang dikatakan Steve. Steve pun tak paham apa yang coba dikatakan si polisi. Namun dari cara polisi itu bicara, Steve yakin, laporannya tidak ditindaklanjuti. 

Tak surut semangat, Steve bergegas menuju ke sebuah stasiun TV yang sudah ia lewati berulang kali dalam perjalanannya ke tempat lain di Jakarta. Tak jauh dari Jalan Jaksa. Ia mengulang cerita itu dengan detail dan semangat yang sama. Namun, ia kembali harus menelan kecewa. Bukan saja tak ditanggapi, ia ditertawakan. Raut wajah Steve yang detik itu masih terlihat kecewa membuat hati saya serasa ditusuki jarum runcing.

 “Your country has a very serious problem!” ia menggeleng keras, menutup ceritanya.
 “Despite the fact that we’re religious country...” saya merespon, mengangkat kedua telunjuk dan jari tengah, membuat tanda kutip pada kata religious.
“You got my point!” ia mengangguk kencang sambil mengetuk daun meja dengan keras.

Dalam hati saya berkata, Ah Steve. Terima kasih sudah berbuat sejauh itu. Tapi kadang satu-satunya hal yang kita terima setelah mengerahkan segenap diri untuk kebaikan hanyalah kekecewaan. Apalagi di negara ini .

Kemarin,  kami  baru saja bertemu lagi. Ia sedang membaca Plato saat saya datang di tempat bertemu. Lusa ia akan bepergian ke Dubai dan Maroko.

Ia bilang sangat membenci Tony Abbott. “But I like your new President!  And he likes my favorite music,” ujarnya antusias. 
Dalam perjalanan, sambil menatap jajaran mobil yang semakin padat karena pembangunan MRT di Sudirman, ia berkata lirih, “I really wish he could make  changes. Corruption, children's welfare, those forests, Sumatran tigers, and the sea, they can not wait any longer….”   

Comments

Popular Posts