Salah Satu, Benar Sembilan
Sabtu pagi, saya mendapati diri berdiri tak sabar di depan
kasir minimarket yang antriannya tersendat. Seorang pembeli yang sedang
bertransaksi ternyata sedang berbincang ringan dengan penjaga kasir. Dari
obrolannya saya tahu mereka tidak saling kenal.
"Anak saya juga minum ini. Bagus kok, Bu," kata
Mbak Kasir sambil memasukkan sebotol multivitamin ke kantong. Kemudian Si Pembeli
menimpali. Bolak balik begitu beberapa lama. What the…
Sedetik saya berpikir untuk segera jadi tokoh antagonis
dengan menyela obrolan mereka dan berkata bahwa Mbak Kasir tidak profesional,
membiarkan pembeli lain menunggu untuk hal enggak penting. Tetapi saya lihat
dua orang di antrian depan saya santai-santai saja. Malah sepertinya berniat
ikut ngobrol.
Seketika saya sadar, oh ya, ini bukan di Jakarta yang
berpacu (tidak) dalam melodi. Saya sedang di sebuah kabupaten di Jawa Timur.
Bahkan ekspedisi/kargo cuma punya jadwal seminggu sekali untuk mengantar barang
kemari.
Meski tentu jangan sampai semua petugas kasir dan pembeli ngobrol
akrab seperti di kafe, after all mereka hanya sekedar manusia yang saling
bicara. Hal yang seharusnya paling normal dan alami.
Saya enggak akan bilang hal klise seperti hidup di kota
kecil/desa lebih bernilai ketimbang di kota besar. Enggak. Momen di atas cuma mengingatkan bahwa yang kita anggap paling salah bisa jadi benar atau punya sisi benar. Dua tahun
terakhir saya makin sadar, semua hal di sekitar kita itu enggak harus terjadi
seperti rancangan skenario atau nilai benar dan salah di kepala kita atau yang dibilang banyak orang.
Sebaliknya, kalau ada teman yang tanya, “Kok betah sih di
Jakarta?” Saya malah bingung mau jawab apa. Emang apa yang bikin enggak betah? Karena
terbiasa (ataupun pasrah), lama-lama saya bisa-bisa saja berkontemplasi saat berjejalan dalam commuter line, atau diam santai di
tengah macet, meleburkan kerumitan isi kepala dengan semrawutnya tata kota. Toh
semua teman baik dan kejutan yang bisa diterima dan ciptakan di kota itu
(seperti juga di semua tempat) selalu membuat saya ingin kembali.
Di sisi lain, hidup di kota kecil juga tidak lantas membuat
hidup yang kita jalani juga serba kecil. Masa
dari lahir sampai mati tinggal di kota kecil yang sama? Sekolah, kuliah, kerja
di tempat yang ga jauh dari rumah, terus nikah, tinggal di kota itu juga?
Kalau iya emang kenapa?
Orang bisa merantau,
tapi enggak harus. Enggak perlu dibikin harus dan yang tidak melakukannya bukan
berarti enggak bisa. Ada yang enggak mau. Ada yang setelah merantau tanpa ragu
kembali ke kampung halaman atau bahkan menetap di tempat yang lebih terpencil padahal
tahu persis secara finansial mereka lebih terjamin di kota besar/negara lain (yang
ini bukan saya). Orang yang merantau pun pada satu titik akan tiba pada kenyataan bahwa orang tua mungkin membutuhkannya pulang di hari tua.
Sebaliknya, ada juga sahabat yang ingin terus tinggal di luar negeri, enggak balik-balik ke Indonesia. Alasannya sesederhana karena jengah ditanya kapan nikah dan merasa tanah orang itu lebih terasa “rumah” daripada tanah kelahirannya. Kalau diceritakan ke orang lain, mungkin dia bakal kena pidato soal nasionalisme dan sejenisnya. Ya kalau saya sih…
Semakin berumur, tanpa sadar doa dan impian kita
(setidaknya saya) semakin sederhana. Karena yang paling sederhana
sekalipun kadang sudah terlalu rumit dicapai. Seperti bisa jemput anak sekolah
atau nyiram kembang di halaman jam 4 sore itu bisa jadi cuma impian buat
pekerja kantoran yang tiap hari baru bisa menggapai gagang pintu rumah jam 9
malam.
Tempo hari seorang teman baik dengan santai bilang, "Aku
belum kebayang tuh beli rumah." Usianya kepala tiga seperti saya, belum nikah. Tapi
8 tahun terakhir dia mengerjakan hal yang selalu ingin saya kerjakan tapi belum
berani: punya usaha yang dia sukai yang bisa menghidupi banyak orang.
Dan seketika saya merasa (semakin) iri sama dia yang enggak terganggu
ujaran motivator dan para pakar finansial. Tidak terusik pada ide bahwa hidup
itu baru akan terasa lengkap setelah nikah, punya rumah, atau baru aman setelah
punya simpanan dengan nominal sekian di bank.
Lebih senang lagi saat tahu tiap anggota keluarga si Teman ini punya usaha/brand sendiri yang dikerjakan di tempat
yang sama, enggak jauh dari rumah. Dan mereka tinggal di rumah yang bahkan juga
digunakan mendatangkan uang, sekaligus teman baru. They’re stick together in happiness and storm, dengan yang ada, enggak
sibuk cari atau pergi ke mana-mana.
That's exactly how I'm
going to teach my son. Penting untuk mengajar diri bertahan di tanah orang, tapi juga penting untuk survive di mana kita berada.
Pada akhirnya enggak ada satu rumus yang harus ditempuh untuk jadi
“sukses.” Orang tidak harus ngantor, tidak harus S2 di luar negeri, enggak
harus nikah sebelum 35 (dan bahkan enggak harus nikah). Enggak harus tinggal di
rumah sendiri setelah nikah. Pun juga enggak harus terus tinggal sama-sama
kalau sendiri bisa jadi lebih baik.
Kadang untuk sekedar menerima dan bahagia di tengah semua
keharusan ataupun ketidakharusan saja sudah cukup pelik.
Kalau hidup itu ibarat tes tulis di atas kertas, buat saya tiap
orang tuh dapat daftar pertanyaan beda-beda. Soalnya enggak diacak, tapi sudah dipilihkan
khusus buat masing-masing. Percuma nyontek kanan kiri ikut jawaban orang. Yang
ada malah kita akan nulis jawaban yang salah untuk pertanyaan yang bahkan
enggak kita baca.
Dan kalau pun jawaban kita salah meski sudah mikir dan merencanakan mati-matian, masih ada soal lain, ada remidial, ada tes lain. Lagipula, katanya kan kalau di sekolah kita belajar dulu baru ujian. Tapi dalam hidup, ujian (salah) dulu, baru belajar.
Dan kalau pun jawaban kita salah meski sudah mikir dan merencanakan mati-matian, masih ada soal lain, ada remidial, ada tes lain. Lagipula, katanya kan kalau di sekolah kita belajar dulu baru ujian. Tapi dalam hidup, ujian (salah) dulu, baru belajar.
Comments
hahahhaa
miss this spot a lot ^_^
Mungkin temen kamu bukan tidak kepikiran untuk beli rumah , tapi masing2 kita punya prioritas di atas prioritas ...
for now ..
enggak sibuk cari dan pergi kemana2 ?
well , there were time when we keep looking for other options ..
but maybe ... maybe .. He put us back where we supposed to be .
or maybe we were just give up ?? hahhaha #excuse
Kita hanya bisa berencana , tp tetap Tuhan yang punya wewenang :D
Numpang curcol,Aku sudah 7 tahun tinggal di Tangerang, selama itu pula suami kerja di Jakarta. Hidup di Jakarta memang gak mudah, apalagi buat kami yg sudah merasa nyaman di Surabaya, dekat dengan saudara, orangtua, teman-teman. Tapi, justru itu tantangannya. Bisa keluar dari zona nyaman.
Paling sebel saat pulang kampung, karena ekspektasi saudara dan teman, orang yg sudah merantau di Jakarta pastilah sukses, hidupnya enak.
Baiklah.. jika itu mau mereka, ayo kita berikan.
Saya dan suami sepakat memperlihatkan apa yg orang lain mau lihat dan dengar dan semata-mata cuma sandiwara agar mereka senang tetapi setelah panggung show off selesai, ya kami tetap jadi diri sendiri yg happy.