Mulai dari Akhir
Seperti saya, dia bukan
orang religius. Tapi di antara batas sadar dan tidak, yang paling sering
ia ucapkan adalah istighfar, mohon ampun.
Sampai sekarang, jika
saya lupa atau meributkan hal yang sebenarnya tidak perlu, saya menengok lagi
lini masanya dan mengingat hari-hari terakhir saat ia berjuang untuk sekedar
hidup.
Unfriend di Tahun Politik
Empat tahun lalu seorang
teman juga pergi di usia muda. Ia berpulang di tahun politik. Yang membuat saya
terkejut setelah dia pergi adalah mendapati kami sudah tidak berteman di
Facebook. Ia menghapus pertemanan/meng-unfriend saya. Anda bisa menyebut
saya paranoid atau insecure, tapi terus terang saya jadi mencoba
mengingat apakah saya pernah punya salah pada beliau. Jika iya, pastinya bukan
kesalahan yang terjadi saat bertemu langsung karena kami sangat jarang bertemu.
Lalu saya ingat, beberapa
waktu sebelum meninggal beliau pernah berkomentar di salah satu status saya
tentang politik. Komentarnya kemudian dikomentari orang lain, teman saya juga.
Beberapa kali berbalasan sengit. Itu ‘interaksi’ terakhir kami di dunia maya.
Meski itu dugaan, tapi
fakta bahwa beliau meng-unfriend saya, dan sudah meninggal, membuat saya
sedih selama berhari-hari. Apalagi karena postingan se”konyol” politik. Karena
kalau memang benar, saya sudah tidak sempat minta maaf.
Sejak itu saya jauh
lebih jarang mengunggah/update status. Saya masih belum bersih dari unggahan
(yang mungkin) negatif (terutama di Twitter).
Tapi setidaknya ketika akan menekan tombol post saya mencoba untuk
ingat: Apakah ini bermanfaat? Apakah ini perlu? Bagaimana cara menyampaikannya dengan lebih baik?
Siapa saja yang
mungkin membaca? Di
daftar pertemanan saya ada rekan kerja, mantan bos, saudara sepupu yang pernah
membantu, teman yang pernah memberi tumpangan, dan yang paling banyak adalah
orang-orang yang hanya mengenal saya lewat apa yang saya unggah di media
sosial.
Meski tidak bermaksud,
tapi kita tidak pernah benar-benar tahu apakah yang kita unggah akan
menyinggung orang lain. Bahkan kata-kata di dunia maya mungkin lebih berbahaya
karena kita bisa sampai hati mengetik kata-kata yang tidak berani kita ucapkan jika
berhadapan langsung. Ditambah lagi, kecuali dihapus, kata-kata di sosmed akan
abadi sepanjang masa, tidak seperti ucapan yang lebih mudah dilupakan.
Bukan berarti tidak
perlu ada kritik atau menyampaikan pendapat. Tapi saya percaya, sesuatu yang
(diyakini) baik harus bisa disampaikan dengan cara baik juga.
Di dunia yang serba
cepat ini, sebagian (besar) orang yang kita jumpai bisa jadi sudah tidak akan kita
jumpai lagi. Begitu juga sebagian besar orang yang menjadi “teman” di dunia
maya. Tidak ada waktu minta maaf, atau bahkan sekedar menyadari bahwa yang kita
ketik mungkin menyakiti.
Obituary Sendiri
Saya ingat pernah ikut
sebuah kegiatan orientasi saat tiap siswa baru diminta menulis obituary diri sendiri.
Obituary adalah berita tentang kematian seseorang beserta catatan singkat
perjalanan hidupnya.
Dengan menulis obituary,
kita diminta untuk menulis rencana hidup kita dari akhir. Ingin menjadi orang
seperti apa? Pekerjaan dan karya apa yang kita tinggalkan? Bagaimana orang akan
mengingat kita? Dengan kata lain, cara sederhana untuk merancang hidup justru
dimulai dari (menyadari bahwa kita akan)
mati. Di kehidupan yang serba tidak pasti ini, mengutip Mark Mason, mati adalah
satu-satunya kepastian.
Dan di masa kini,
setelah mati, lini masa kita barangkali adalah satu-satunya peninggalan yang paling terlihat. Rekaman kata dan potret
kita yang bisa diakses semua orang. Alangkah sia-sianya jika saat orang
mengenang dengan menengok lini masa kita, ia hanya akan mendapati akun penuh
sumpah serapah.
Selamat jelang akhir
tahun dan menyongsong 365 kesempatan baru :).
Selamat mencoba memulai
dari akhir.
Bersama ini saya mohon maaf untuk unggahan yang kurang berkenan.
Bersama ini saya mohon maaf untuk unggahan yang kurang berkenan.
Menemukan ini saat scrolling Path almarhum sahabat |
Comments