Playing Seriously, Seriously Playing
Kadang berandai-andai, bagaimana jika saya lebih awal mengenali diri dan
meyakini apa yang ingin saya lakukan sebagai kesenangan dan profesi. Jalannya
tentu tidak akan lebih mudah, tapi setidaknya mungkin tidak perlu menghabiskan
bertahun-tahun kebosanan dan kebingungan.
What
You Really Really Want?
Sesederhana itu sih harapan saya pada pendidikan anak saya: agar ia tahu
apa yang benar-benar ia sukai dan ingin ia lakukan. Lalu bisa membangun diri
dan berkontribusi untuk sekitar dengan bahagia. Plus bisa menengok hidup orang
lain tanpa harus merasa lebih rendah atau lebih tinggi. Buat saya, sukses itu
ya sesederhana itu.
Di usianya yang baru 8, selain main gawai di akhir pekan, hal yang ia
lakukan dengan senang hati adalah menggambar. Ia bisa menggambar kapan dan di
mana saja. Di kereta, di ruang tunggu dokter, di mobil, di kelas – bahkan saat
ujian sekalipun. Melihatnya menggambar sambil bersenandung membuat saya
berpikir mungkin aktivitas itu bisa menjadi jangkar sekaligus kompasnya. Sarang
yang tenang untuk kembali. Tiap orang perlu punya ‘tempat’ ia bisa melarikan sekaligus
menemukan dirinya lagi.
Namun karena sekolah/pendidikan formal belum memberi ruang untuk
kecerdasan semacam ini berkembang, maka kami perlu mencari jalan di luar. Dan sebulan
terakhir ia ikut sekolah digital art. Tidak pernah sekali pun malas masuk.
Kalau melewatkan jadwal sehari saja dia sudah resah. Apa begini seharusnya
sekolah itu? 😼
Didikan Masa Lalu
Dulu sih di SMP saya pernah kena razia dan dimarahi karena membawa barang
yang dianggap tidak berhubungan dengan pelajaran sekolah: beberapa komik
Doraemon dan sebuah buku cerita yang saya lupa judulnya. Duh kalau anak-anak
diperlakukan begitu bisa-bisa nggak ada lagi yang membaca buku (komik juga) sebagai
sebuah kesenangan.
Lalu jika membaca saja masih dipandang harus menjadi bagian kewajiban
yang berhubungan dengan sekolah, apalagi menulis. Mimpi menjadi penulis bahkan
tidak pernah saya sebut sebagai cita-cita karena terdengar terlalu “mimpi.” Terlalu
bersenang-senang. Seperti bukan pekerjaan yang sebenarnya. Jadi saya
menyimpannya sendiri.
Tetapi akibatnya, saya sempat dua tahun salah jurusan kuliah sampai stres
sebelum masuk ke Komunikasi UI. Kemudian bertahun-tahun (berharap) puas menjadi
reporter dan content writer. Dan tetap saja merasa ada yang kurang.
Saya ingat ada atasan saya di media yang dengan cepat meragukan saya begitu
saya keluar dari kantor dengan alasan ingin menulis fiksi. Jadi begitulah tiap
kali kita ingin mengerjakan sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Harus melepaskan
diri dulu dari suara-suara orang lain yang sudah terlanjur menjerat dan menjerit
dalam kepala.
Mengikuti Generasi Z
dan Alfa
Bicara soal mengabaikan kata orang, saya selalu belajar dari adik-adik
generasi Z (lahir 1998-2010). Betapa pun generasi saya, milenial/gen Y (lahir
1977-1997), sering menyebut generasi Z ini sebagai anak-anak yang tidak
konsisten dan tidak tahu sopan santun, saya tetap mengagumi sisi-sisi mereka
yang gesit, efisien, efektif.
Mereka memang seringkali tak bisa basa-basi tapi tahu yang mereka mau. Iya,
tidak semua. Tapi setidaknya generasi Z yang saya kenal, para pegiat literasi,
adalah yang begitu. Rasanya seperti melihat diri sendiri dalam versi yang lebih
berani dan tanpa beban didikan masa lalu.
Nah, generasi anak saya, gen Alfa (lahir mulai 2010), belum
terdefinisikan dengan jelas. Mungkin
akan disegani sekaligus dibenci juga oleh kakak-kakaknya, gen Z. Mungkin mereka
akan jadi lebih tangkas, lebih thoughtful, lebih tidak bisa basa-basi.
Satu hal yang pasti, tidak seperti saya yang dulu diragukan, saya akan
membiarkan dia bermain dengan serius, dan serius bermain. Main game boleh, di
waktu tertentu, tapi bagaimana jika sekalian belajar membuat game? (rencananya
bulan depan ia akan mulai belajar koding) Menggambar boleh. Bagaimana jika
sekalian serius menggambar?
Pun jika ia berhenti di tengah jalan, tidak apa-apa. Ini adalah bagian
dari perjalanannya mengumpulkan kepingan-kepingan diri dan jalannya sendiri
nanti. Untuk sekarang, kita coba dulu belajar soal ketekunan sambil
bersenang-senang ⌣
Comments