Hal-hal yang Terbawa (dan Terbawah) dari Sekolah
“Bunda, Anne Frank itu kayak aku! Sering
dimarahin karena suka ngobrol di kelas.
Terus dia juga nggak suka
matematika!”
Bima (8), dengan gembira
Pembagian anak-anak ke
dalam kelas-kelas yang ditata berdasarkan kemampuan akademisnya masih menjadi misteri
bagi saya. Dari kajian-kajian yang saya baca, pembagian ini kebanyakan berfokus
pada manfaat yang bisa didapat anak yang lebih pintar. Katanya sih anak di kelas
unggulan akan menjadi lebih terpacu mencapai kemampuan maksimal mereka. Tapi
bagaimana rasanya menjadi anak di kelas yang dianggap paling tidak pintar? Berharap
saja mereka bisa survive dengan
menyandang label itu seumur hidup.
Saya pernah jadi anak
kelas unggulan, tapi juga pernah jadi
warga kelas yang distigmakan paling bodoh. Mungkin sistem ini bermanfaat untuk
sebagian anak. Tapi buat saya, berada di kelas unggulan justru menghabisi sisi
menyenangkan dari proses belajar dan menyisakan bagian tidak menyenangkan yang menjadi
beban harian: kompetisi (pubertas saja sudah cukup merepotkan, ya Tuhan).
Saya ingat saya justru memandang iri pada
anak-anak di kelas yang paling tidak diunggulkan yang sungguh hore itu. Sebagian
dari mereka adalah anak-anak bintang lapangan. Pebasket andalan dan seniman. Mereka
cool dengan cara yang tidak dapat
saya tiru saat itu.
Akhirnya di kelas 2 (sekarang kelas 8) saya dikeluarkan dari kelas unggulan. Tidak memenuhi standar di pelajaran
Matematika dan IPA (karena standarnya ya memang cuma itu). Saat itu saya sedang
mulai senang menulis tapi seakan diyakinkan bahwa itu bukanlah sebuah
kecerdasan. If you’re not good at math, then you’re not good in life.
Itu waktu SMP. Di SMA, sama saja. Di SMA saya dulu ada 7
kelas IPA dan hanya 1 kelas IPS. Yang masuk ke 3 IPS (sekarang kelas 12) dipersepsikan sebagai anak-anak sisa yang tidak bisa masuk 3 IPA. Bahkan
anak yang ingin masuk IPS disarankan
untuk masuk IPA saja jika ia memang pintar matematika dan sains. “Kalau anak
IPA kan bisa ke mana saja setelah lulus. Tidak seperti anak IPS.” Begitu
mantranya. Padahal “bisa ke mana saja” adalah kata lain dari ketidaktahuan cita-cita
dan tujuan (kan).
Menjadi “yang tersisa”
itu menyebalkan, tapi kemudian membebaskan. Saya jadi tidak punya pilihan
selain kembali ke akar dan kekuatan terbaik yang saya punya. Dan itu jelas
bukan di ilmu pasti.
Anak
Saya, Cetak Biru Saya
Ini dekade dan era
lain. Sekolah anak saya tidak menerapkan sistem ranking dan tidak menerapkan
tes masuk. Sebuah kemajuan yang tentu punya konsekuensi sendiri. Dalam proses
belajar mereka perlu membagi anak-anak sekelas menjadi 2 kelas kecil: kelas
anak yang lebih cepat dan kelas anak yang lebih lambat belajar.
Yang
menarik, semua anak yang biasa mewakili sekolahnya untuk lomba bahasa Inggris (termasuk
anak saya) masuk ke kelas ini. Anak yang secara alami berbakat di bahasa
ternyata rata-rata kurang tangkas dalam hitung menghitung.
Begitu juga di klub
renangnya. Saya (dan dia, dan pasti juga pelatihnya) tahu ia tidak punya
kecerdasan kinestetik. Ia tidak bisa seserius itu di kolam. Renang dan olahraga
lain sekedar ia anggap sebagai kesenangan, atau gangguan jika ia tidak suka. Haha.
Dan saya suka fakta bahwa ia, di usia 8, sudah mengenal apa yang ia sukai dan
tidak sukai. Setidaknya untuk saat ini.
After all, saya tidak
menyalahkan sistem pendidikan. Ya memang susah bikin satu sistem yang bisa berlaku untuk semua anak. Tapi saya menerima dan meresponsnya dengan cara
saya sendiri. Di rumah, saya cuma mengajak anak saya lebih sering mengerjakan
soal Matematika. Setidaknya agar dia bisa memahami logika berhitung dan mencapai
standar minimal yang diperlukan. Sekedar tahu dan bisa, tidak perlu pintar.
Tetapi fokus saya adalah
mendukung dia mengerahkan energi di bidang yang ia kuat dan sukai (dia suka menggambar). Tidak perlu
mengalahkan siapa-siapa (dulu). Hanya menguasai hal terutama yang ia sukai, dengan kecepatannya sendiri. Sambil
berharap kekuatannya itu bisa membuatnya bermanfaat dan hidup dengan gembira. Bagi
saya pendidikan itu ya sesederhana itu.
Comments