Refleksi dari Kompetisi Spelling Be: Mengeja Diri Sendiri (1)

Sejak usia 7, anak saya menjelma menjadi jenis anak yang dulu tidak saya sukai :)). Anak aktif yang bicaranya campur-campur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, suka menggambar (bahkan di dalam kelas), gemar main game dan nonton YouTube. 

Setelah ia diikutkan sekolahnya dalam kompetisi Spelling Bee English First (EF) tempo hari, saya jadi semakin yakin, daripada terus mencoba "membetulkan"nya, mungkin kesukaan-kesukaannya ini justru bisa menjadi kekuatannya. 


Tidak Disengaja
Saya baru tahu kecerdasan Bima adalah di linguistik sejak liburan naik kelas 1 SD. Saat itu untuk pertama kalinya dia diizinkan menggunakan gawai (gadget). Sejak itu dia mulai main game (Minecraft dan Roblox) dan membuka YouTube, awalnya untuk tahu bagaimana cara memainkan game ini.

Hal yang kemudian saya sadari adalah ternyata kemampuan bahasa Inggrisnya berkembang seiring dibukanya akses ini (meski tentu saja tidak dipungkiri ada kata-kata negatif yang ikut terbawa dan perlu didiskusikan). Kebetulan karena bekerja di rumah, saya memang selalu ada di sekitarnya setiap kali dia menggunakan gawai, dan itu terbatas di akhir pekan.

Pamannya terkejut saat bicara dengannya lagi di bulan Desember. Katanya kemampuan bahasa Inggris Bima meningkat pesat sejak terakhir mereka  bertemu 6 bulan sebelumnya. Ia memuji saya karena mengira saya telah sukses mengajarinya. Padahal saya sama sekali tidak mengajari apapun.

Setelah saya perhatikan, Bima ternyata meniru pelafalan kata-kata bahasa Inggris dari Youtuber yang ia dengar, yang ternyata memang sangat jelas. Kemudian lama kelamaan tiap menonton Disney Channel, ia lebih memilih mendengarkan suara versi asli (bahasa Inggris). Kemudian dua tahun terakhir ia mulai mencari tahu pengetahuan umum di YouTube, kalau bisa dalam versi bahasa Inggrisnya. 

Yang jelas ia tidak kursus bahasa Inggris. Hanya renang dan menggambar. Pelajaran yang saya ulang di rumah pun hanya Matematika, yang sering lebih lambat ia pahami. 

Kosakata dan Spelling Bee
Setelah ia mengikuti lomba, saya baru tersadar bahwa akses internet benar-benar mengembangkan kosakatanya. Kemarin di final Spelling Bee, saya heran dia bisa mengeja kata-kata yang sepertinya tidak kami pelajari. Antara lain: sapphire, knuckle, dan sparrow. 

Setelah ngobrol, ternyata dia tahu kata “sapphire" (batu safir) dari game Minecraft, dan  kata “knuckle” dari meme game Sonic, Ugandan Knuckles. Iya, saya tidak sepenuhnya paham, tapi saya googling juga. Hehe. Selain itu kata lain yang bisa ia eja adalah sparrow yang ternyata ia tahu dari Pokemon. 

Intinya, dalam kompetisi spelling bee, kata-kata yang muncul bisa sangat acak. Kita bisa punya daftar panjang kosakata, tapi dalam lomba nanti bisa saja tidak akan muncul satupun kata dari daftar itu. Hehe. Sehingga cara terbaik mempersiapkan anak sebelum mengikuti kompetisi ini, idealnya tentu saja, adalah banyak membaca.

Namun dalam kasus anak saya, karena dia belum termotivasi membaca mandiri, kosakatanya baru ia dapat dari hal yang sering ia akses: game, YouTube, film. Soal membaca buku, dia hanya membaca buku yang topiknya ia suka, seperti antariksa, dinosaurus, sejarah. Selebihnya, ia lebih suka dibacakan. Maklum, anak auditori. Dulu saya sering membacakannya buku sebelum tidur. Sepertinya kegiatan ini perlu dimulai kembali.

Lebih Mengenal Diri
Di atas semuanya, saya baru menyadari bahwa kompetisi bisa membuat saya belajar banyak tentang anak saya dan diri saya sendiri. 

Sebelum lomba dimulai, saya melihat peserta lain yang tekun belajar, membaca kembali daftar kosakata mereka, atau diberi tebakan oleh orang tua atau guru. Dulu saya adalah bagian dari anak-anak seperti ini, tapi dari sudut pandang kurang positif. Saya introver yang sebenarnya tidak pintar, cuma rajin dan insecure

Tetapi anak saya sama sekali tidak seperti saya, dan saya tidak bisa memperlakukannya seperti anak rajin. Saat peserta lain belajar, anak saya dan dua peserta lain berlarian, main bola, main game, makan snack. Saya resah karena khawatir ia tidak akan bisa fokus. Saya panggil bolak balik untuk belajar, tapi dia tetap berlarian ke sana kemari. Ya sudah, saya menyerah. Kalau saya marahi, dia bisa jadi kesal atau lebih parahnya, menangis. Saya pikir, yang terpenting adalah mood-nya tetap terjaga.

Saat naik panggung, punggung dan wajahnya memang penuh keringat, habis lari-lari. Tapi dia tampak tenang dan senang saja. Seperti biasa, ia sempat dancing-dancing kecil dan mengomentari ini itu meski sudah di atas panggung.

Babak final jauh berbeda dengan babak semifinal dan penyisihan. Jika dua babak sebelumnya dilakukan dengan tes tulis, di babak final, semua pengejaan harus diucapkan di atas panggung, dengan pengeras suara, di depan audiens. Di antaranya tentu saja ada guru dan orang tua yang berharap mereka tampil baik. Situasi yang sudah cukup menegangkan untuk anak. 




Rasanya jantung lepas ke udara setiap kali giliran Bima tiba mengeja. Beberapa kata yang seharusnya mudah, sempat ia lewatkan satu huruf. Tetapi kata-kata lain yang bahkan tidak dapat saya tangkap bisa ia eja dan tebak dengan baik. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika ia gugup.

Di sisi lain, saya melihat teman-temannya yang lain, yang sebelumnya sudah mempersiapkan diri lebih baik, tampak gugup, sehingga mungkin lupa. Saya yakin mereka sebenarnya bisa. Tapi kita tahu, gugup bisa membuat gagap.

Bima dan temannya, yang sebelumnya juga lari-lari bersamanya itu, alhamdulillah juara 3 dan 2, berkesempatan ikut kompetisi nasional, 24 November 2019 nanti.

Saya belajar bahwa setelah persiapan panjang dan mempelajari banyak kosakata, pada akhirnya, sepintar apapun anak, tersisa satu hal penting yang jadi benteng mereka dalam setiap kompetisi (dan hidup): mental.

Mental terbentuk antara lain dari konsep diri. Bagaimana ia memandang dirinya di antara peserta lain? Juga resilience; bagaimana ia bisa cepat bangkit setelah sempat salah.

Selain itu memotivasi anak-anak generasi Alpha (lahir 2010 ke bawah) memang gampang-gampang susah. Beberapa hari sebelum lomba Bima sendiri yang bilang, “Winning is not important, Bun." Saya jadi  bingung bagaimana akan menyemangatinya. Akhirnya di hari H saya cuma bilang, “Ok, just go there and we’ll have pizza after that.” Dan anehnya dia justru jadi bersemangat, “Ok, Bun, I’ll win it!”

Namun di atas semuanya, ada kebahagiaan yang lebih berharga dari persaingan: melihat anak-anak itu saling tos menyemangati dan menghibur setiap kali benar/salah menjawab :)).  

UPDATE: cerita grand final bisa di baca di sini ya :)).



NB: Di bawah ini saya sertakan beberapa link yang mungkin dapat berguna untuk mempersiapkan anak untuk kompetisi spelling bee.


Seputar Spelling



Comments

Popular Posts