People Our Age
If I could sum up how's life at 30's feels like, it would be: too
old to make mistakes, too young to make things right.
30s and Being a Parent
Akhir pekan lalu beberapa sahabat merencanakan kamping bersama, bawa
anak masing-masing. Ini kali kedua. Saya ikut aja. Khas acara ibu-ibu yang
enggak mungkin sempurna, mendekati hari H, salah seorang berkata,
"Kayaknya aku nggak jadi ikut. Bapak baru masuk rumah sakit. Aku mesti
jaga. Apa aku pergi semalam aja ya?”
Sahabat lain: “Jangan, kasihan bapakmu.
Tidak disangka sahabat saya ini menjawab lagi, "Ya kasihan aku
juga, sudah 7 bulan di rumah aja." 😃 Duh, rasanya ingin tertawa sekaligus menangis di saat yang sama. Haha.
Sahabat saya ini ibu rumah tangga dengan 2 anak yang tinggal dengan
orang tua. Tujuh bulan terakhir lebih sering di rumah, merawat bapaknya. Sudah
lama ia berkeluh kesah ingin berpenghasilan dengan bekerja kantoran. Tapi bapaknya
membutuhkannya.
Situasi yang berseberangan, sudah tidak terhitung juga teman perantau
yang ingin tinggal sekota untuk menjaga orang tua yang sudah tua/sakit, tapi
sulit berpindah/meninggalkan pekerjaan mereka.
Itu baru salah satu dari banyak situasi yang sering dihadapi di
usia 30-an. Yang tiba-tiba jadi tiang penopang saat diri mereka sendiri merasa
masih butuh pegangan. Yang ingin lari kencang tapi malah harus jalan
pelan-pelan asal selamat. Yang ingin mengerjakan semua dengan benar tapi malah banyak
yang lepas dari genggaman. Dibilang sudah cukup dewasa, ternyata belum.
Dibilang terlalu muda untuk membuat hal besar, enggak juga sih, sudah 30.
Single at 30s
Ada yang bilang bahwa setengah usia hidup manusia “dikuasai” oleh orang
tuanya, dan setengah sisa usianya “dikuasai” anak. Mereka yang lajang sebenarnya
punya jeda (atau seterusnya) yang longgar di antara kedua masa ini untuk jungkir balik berbuat apa saja.
Ini kenapa, maafkan, saya bingung tiap kali sahabat saya yang lain,
lajang, yang sering bilang/tanya, “Lu kapan ke sini lagi?” “Lu mau ga ke Gili
Trawangan?” “Gue hidup mau ngapain lagi ya,” “Gue ambil les karena saking ga
taunya weekend mau ngapain.”
Tanpa mengurangi rasa hormat pada para lajang dan kompleksitas hidup
mereka, saya cuma bisa tertawa saking enggak tahu mau jawab apa. If I were her,
saya mungkin akan ikut open trip tiap weekend tanpa rasa bersalah meninggalkan
anak, lebih banyak donasi untuk bantu orang, ikut kursus hip hop yang biayanya
semahal SPP anak, joinan buka usaha, nonton konser-konser itu, ikut lomba lari
di tempat-tempat eksotis itu. Kalau ada uangnya. Ya yang jelas semua
yang ingin tapi tidak saya kerjakan karena memprioritaskan kebutuhan, bukan
keinginan.
Life Begins at 40
Gara-gara frase di atas, usia 30-an seakan jadi masa untuk
menyelesaikan target (kalau masih punya😆) sebelum 40. Belum punya rumah, sudah
10 tahun bilang mau resign dan mulai usaha tapi kok masih ngantor, saldo
rekening selalu pas-pasan, investasi cuma emas enggak seberapa, mau rutin olahraga tapi kok kartu member gym enggak pernah dipakai, belum punya
anak, belum punya pasangan.
Ada apa sih dengan umur 40? Setelah sok mencoba mencari tahu, ternyata
frase life begins at 40 punya makna yang lebih dalam dari sekedar “usia
40 ke atas tinggal menikmati hidup.”
Frase ini pertama kali populer setelah psikolog Amerika Walter Pitkin menulis
bukunya yang terbit pada 1932. Life begins at forty. This is the
revolutionary outcome of our New Era. Today it is half a truth. Tomorrow it
will be an axiom.
Ternyata ini karena 40 adalah usia rata-rata harapan hidup manusia di
sekitar masa Perang Dunia saat itu. Hanya sebagian kecil yang bertahan hidup
lebih dari usia ini, sehingga bisa disebut bahwa death begin at 40. Barangkali
ini juga alasan mengapa orang zaman dulu sudah mendapat tanggung jawab besar di
usia muda. Pemimpin sebuah batalion mungkin adalah seorang anak muda berusia
20-an, seperti Soedirman yang memimpin PETA di usia 28, dan meninggal di usia
34. Di masa kini, sesuai prediksi Pitkin, seiring perbaikan kualitas hidup, 40
justru adalah awal, bukan akhir usia harapan hidup.
Tetapi Pitkin bukan orang pertama yang menyebut keistimewaan usia 40. Sebelum Pitkin, seorang filsuf
Jerman, Arthur Schopenhauer menulis:
"The first forty years of life give us the text: the next
thirty supply the commentary."
Maksudnya, kalau diterjemahkan bebas, sampai usia 30-an orang bisa
membangun hidup sesuai kata orang tentang bagaimana-seharusnya-hidup-itu. Bekerja,
berkeluarga, punya rumah, punya investasi, traveling-karena-bumi-itu-luas
(tapi-kamu-belum-tentu-punya-uang).
Tapi di usia 40-an, orang (sebaiknya) mulai merefleksi apa arti semua
yang dia kerjakan dalam hidup. Ini usia orang mulai memberi catatan-catatan dan menarik
nilai dari hidup yang sudah ia bangun. Dan hidup atau “teks” itu tidak akan bisa dipahami dan fully owned tanpa catatan dan perenungan
ini. Seperti kata Socrates, hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang
tidak layak untuk dijalani.
Attempt on Making Sense
Makin bertambah usia, mungkin orang sering enggak mengerti sama diri
sendiri. Hal yang dulu menyenangkan jadi biasa saja, dan yang dulu membosankan
malah jadi menenangkan. Definisi kebahagiaan dan prioritas berubah (dan memang
harus berubah). Di rumah nonton Iflix sendiri lebih membahagiakan daripada
nongkrong di kafe sama sekelompok orang yang sebenarnya tidak begitu dikenal dekat.
Di sisi lain, meski jadi semakin kenal, menerima, dan mencintai diri
sendiri, tantangan menjadi 30-an adalah menetapkan posisi di antara orang-orang
yang disayangi. We can always choose, but we can not choose the consequences
that happen to people we love. Inilah saat kita baru benar-benar kenalan sama
yang namanya responsibility.
Yang jelas, kalau di abad 19 Schopenhauer bilang umur 40 orang baru berpikir
akan hidupnya, barangkali kini di usia 30 orang sudah mulai merefleksi. Memindai
ulang daftar mimpi atau target dan menyesuaikan diri. Menyadari
bahwa sebagian rencana sebaiknya dieliminasi dan diganti rencana baru.
Menemukan dan membuat titik keseimbangan baru. Membongkar dan kembali menciptakan
jati diri yang rasanya lebih sesuai (iya, jati diri itu tidak dicari, tapi
dibentuk. Katanya). Bisa jadi termasuk
juga mengeliminasi orang yang “layak” ada dalam inner circle dan hidup kita dan
yang tidak.
Please, do so.
Berkeluarga ataupun lajang, buat saya 30s and after is a period to be too old for unnecessary things, and too
young to give up on a vibrant life.
Comments