ISLAM, PANTA REI, dan AKAL

Tidak ada agama yang lebih rasional dan simplistis daripada Islam
(Soekarno dalam surat dari Endeh
kepada T.A. Hassan, guru “Persatuan Islam di Bandung, Juli 1935)


Saya pikir seumur hidupnya Soekarno hanya bicara tentang marxisme, komunisme, nasionalisme. Tapi ternyata dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, saya menemukan bahwa dia lebih religius dari yang saya tahu. Intelek yang religius. Perpaduan dua kata sifat ini pada seorang manusia, akan menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang dengan mudah menjawab pertanyaan orang-orang seperti saya, yang sudah sejak lama memendam rasa ingin tahu pada Islam, tapi tak berani mendekat karena keberhasilan media dan segelintir orang menciptakan kesan kejam, kaku, kuno pada agama ini.

Panta Rei
Panta rei! - kata Heraclitus - segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal mendapat perbaharuan. Dengan pernyataan inilah Soekarno mengawali pemaparannya tentang Islam (yang seharusnya) progresif.
Jika segala hal berubah, bagaimana dengan agama?
Dalam Pandji Islam, 1940, Soekarno menulis : pokok tidak berubah, agama tidak berubah, Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan sunnah Nabi tidak berubah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal inilah yang berubah. Pengoreksian pengertian selalu ada, dan mesti selalu ada. Pengoreksian itulah hakekatnya semua ijtihad, semua penyelidikan yang membawa kita ke lapang kemajuan. Kalau kita tidak mau berijtihad, maka kita sendirilah yang mencekek mati kecerdasan kita dengan cara lambat-lambat.
Kita sendirilah, kata penulis Essad Bey, ikut berdosa “Schlieszung des Bab el Itschtihad” – sehingga oleh karenanya datanglah keruntuhan segala kehidupan akal, segala kehidupan rohani, segala kebesaran dan kemegahan, segala keadaban dan peradaban. Penutupan pintu ijtihad membinasakan semua peradaban. Dan kita kini mau mengulangi dosa-dosa besar ini? Janganlah kita lekas marah kalau ada orang minta diperiksa kembali sesuatu hal dalam pengertian agama kita.
Sayid Amir Ali, penulis The Spirit of Islam, yang menjadi fundamental bagi kaum intelektual Eropa dan Asia yang mempelajari Islam, menulis : The elasticity of laws it their great test and this test is pre-eminently possessed by those of Islam. Their compatibility with progress shows their founder’s wisdom.
Islam bisa cocok untuk semua zaman, kata Amir, adalah karena sifat elastisitasnya. Islam tidak akan bisa bertahan hidup ribuan tahun jika hukum-hukumnya tidak demikian. Ini yang menjadi sebab kultur Islam selalu berubah corak.

Islam itu kemajuan!
Dengan jujur, Soekarno mengkoreksi perilaku bangsa sendiri : kita royal sekali dengan perkataan “kafir,” kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir.” Pengetahuan barat – kafir, radio, kedokteran, dasi dan topi, sendok garpu, tulisan latin – kafir. Bergaul dengan bangsa yang bukan Islam pun – kafir. Padahal yang mereka namakan Islam adalah dupa, korma, jubah, dan celak mata! Yang mukanya angker, yang tangannya bau kemenyan, yang matanya dicelak, jubahnya panjang, dan menggenggam tasbih yang selalu berputar – dialah yang dinamakan Islam. Astafirugllah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Cara kuno inilah yang menjadi sebab dunia Barat memandang Islam sebagai satu agama yang anti kemajuan dan sesat.
Adalah satu perjuangan yang paling berfaedah bagi umat Islam, yakni perjuangan menentang kekolotan. Perjuangan inilah yang dimaksud Kemal Ataturk tatkala ia berkata,”Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid, memutarkan tasbih, tetapi Islam ialah perjuangan. Islam is progress : Islam itu kemajuan!”

Rasio dan Akal
Agama adalah bagi orang yang berakal, demikian Nabi bersabda. Kenapa sesuatu hal harus digaib-gaibkan kalau akal sedia menerangkannya? Kata-kata Soekarno ini menguatkan argumen bahwa motor hakiki dari semua “rethinking of Islam” adalah kembalinya penghargaan kepada akal. Allah sendiri dalam Quran berulang-ulang memerintahkan kita berbuat demikian, “Apa sebab kamu tidak berpikir,” “Apa sebab kamu tidak menimbang,” “Apa sebab tidak kamu renungkan.”
Jangan akal, pikiran, reason, rasionalisme dienyahkan dari dunia keagamaan, diganti dengan “percaya saja,” “terima saja,” begitu katanya. Akal diganti dengan otoritas, aktivitas rohani diganti dengan penerimaan rohani. Akal kadang tak mau menerima Quran atau Hadits shahih, bukan karena Quran dan Nabi salah, tapi oleh karena cara kita mengartikannya adalah salah. Rasionalismelah yang dapat mengakurkan pengertian fiqh dengan peredaran zaman.
Tanyalah kepada ribuan orang Eropa yang masuk Islam di dalam abad 20 ini, dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat pengetahuan baik dan bagusnya Islam, dan mereka akan menjawab : bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya “beriman” dan “percaya saja.” Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putar tasbih saja, tapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal – karena berpengetahuan umum, mubaligh modern & scientific, bukan mubaligh yang “à la Hadramaut” atau “à la Kjai bersorban.”
Percayalah bahwa jika Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kebenaran Islam. Saya sendiri sebagai seorang tepelajar baru mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam sesudah membaca buku-buku Islam yang modern & scientific.

Preach Islam !
Kepada T.A. Hassan, Soekarno juga menyerukan pentingnya dakwah, penyebaran Islam, tanpa memandang negatif penyebaran agama yang dilakukan umat agama lain :
Saya sendiri banyak bertukar pikiran dengan kaum pastor di Endeh. Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu adalah “pulau misi” yang mereka sangat banggakan. Dan memang pantas mereka banggakan pekerjaan mereka di sana. Saya sendiri melihat mereka bekerja mati-matian untuk mengembangkan agama mereka di Flores. Saya respect dengan pekerjaan mereka.
Kita banyak mencela misi, tapi apakah yang kita kerjakan bagi menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Misi mengembangkan Katolik Roma itu hak mereka, yang tak boleh kita cela dan kita gerutui. Tapi kita, kenapa kita malas, kenapa kita teledor, kenapa kita tak mau kerja, kenapa kita tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun mubaligh Islam dari suatu perhimpunan Islam yang ternama buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Misi dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa orang kafir yang bisa dihela oleh Islam di Flores itu? kalau dipikirkan memang itu semua salah kita sendiri, bukan salah orang lain!

Puluhan Tahun Setelah Soekarno

Tahun 2001 dan 2002, tujuhpuluh tahun setelah tulisan Soekarno di atas, apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi : terorisme. Meski demikian, memang terorisme dan fundamentalisme tak semata-mata berasal dari kurangnya ijtihad dan peran akal dalam masyarakat Islam. Fundamentalisme juga adalah anak modernisme, kata Karen Armstrong. Sementara aktivis gerakan sosial dan feminis Asia, Kamla Bhasin, menyatakan bahwa fundamentalisme dan konservatisme agama tumbuh karena ketidakamanan ekonomi dan kultural. Terorisme global dan berbagai bentuk fundamentalisme tak bisa dipisahkan dari globalisasi ekonomi.
Above all, karena hidup di zona aman (tanpa perang, relatif lebih sedikit diskriminasi dan intimidasi, dan bahkan menjadi warga mayoritas), saya pikir sudah menjadi PR besar bagi muslim Indonesia untuk menginspirasi, jihad akal seperti Soekarno, untuk membuat kemajuan bagi kesejahteraan umat Islam sendiri, dan bagi dunia.

Comments

SAFAHL said…
Hi priyadandarini you were shutdowing your LT in that day so we discontinued our talks I am facing here some internet problem why I didnt seen u resently reason? when u online never miss to inform me ok bye
Yusrizal Ihya said…
Saya suka dengan tulisan ini. :)

Akal dan rasionalitas memang adalah elemen penting dalam mempelajari agama.

Dimana ya saya bisa mendapatkan tulisan lengkap Soekarno yang dikutip oleh Mbak Lucia di tulisan di atas?
Astaga. Mohon maaf saya baru membaca komen Anda sekarang. Ada di buku Di Bawah Bendera Revolusi :-)
This comment has been removed by the author.

Popular Posts