Terjebak! Di Kotak ber-AC

Coba tebak benda elektronik apa yang hampir selalu dimiliki setiap rumah di Jakarta, mulai dari rumah petak hingga apartemen mewah? Benda itu adalah pendingin hawa, baik yang berbentuk kipas angin, maupun yang lebih canggih : AC. Kamar kos kakak saya yang berukuran mini itu bahkan dilengkapi dua kipas angin (dan di saat tertentu tetap saja panas!)

Begitu mahalnya harga untuk terbebas dari hawa panas sehingga biaya sebuah kamar kos, apartemen, atau perumahan akan langsung melejit jika dilengkapi dengan AC, kolam renang indoor, atau tunnel-tunnel indoor dari satu tempat ke tempat lain yang memungkinkan penghuni properti itu bisa ke sana kemari tanpa kena terik matahari (jadi ingat film Wall-E)

Saya sih sebenarnya tidak terlalu suka udara artifisial. Saat kuliah hanya ada satu kipas angin – yang jarang dinyalakan – di kamar kos saya di Depok. Bahkan seingat saya, saya tidur mengenakan selimut wool yang lumayan tebal. Apa mungkin hawa Depok memang lebih dingin dari Jakarta ya? Entah.

Tetapi sejak hamil saya jadi fans berat AC. Saya tidak bisa duduk diam lebih dari limabelas menit di ruangan tanpa AC. Apalagi tidur. Saat tidur di kamar ber-AC pun saya masih menempatkan handuk kecil di sebelah bantal kalau-kalau saya terbangun di tengah malam dan mendapati leher, kening, atau punggung berkeringat.

Namun karena satu-satunya ruangan ber-AC di rumah saya hanya di kamar tidur, jadi 90% waktu saya selama 24 jam sehari saya habiskan hanya di satu ruang ini saja. Saya memindahkan televisi dan meja kerja saya ke kamar. Bahkan makan, menyetrika, mengupas dan memotong sayur untuk dimasak juga saya lakukan di kamar! Menyedihkan.

Aktivitas yang paling enggak banget untuk dilakukan di kamar tidur tentu saja adalah makan dan mengolah makanan. Jadi ingat dapurnya Dinda Kanya Dewi yang full AC dan pakai kompor listrik biar tidak panas. Wah,impian saya banget tuh! Selama ini karena kepanasan, jadi kalau masak mau tak mau saya jadi buru-buru ingin cepat selesai. Soal rasa jadi urusan belakang.

Sungguh, saya merindukan suhu ruangan 24 derajat. Bukan 24 derajat pada remote AC, tapi pada termometer suhu seperti di rumah saya di Malang. Di sana saya bisa beraktivitas di ruang manapun di rumah – di ruangan lantai dua sekalipun - tanpa khawatir kegerahan.

Terjebak sepertinya adalah kata yang tepat menggambarkan situasi saya. Terjebak di kotak berudara artifisial yang tentu saja tidak sehat. Setiap hari harus ada waktu saat AC harus mati dan jendela ruangan harus dibuka agar terjadi pergantian udara. 

Semoga saja setelah melahirkan saya tak lagi cepat kegerahan dan bisa duduk tenang adem ayem di ruangan manapun di rumah (tapi sebaiknya sih kami segera pindah dari rumah kontrakan di Ciputat yang panas-pengap-rajamacet-jauhdarimanamana ini. Hehe).

Semoga!

Comments

Popular Posts