Saudara Sebatang Rokok

Jika komedian Victor Borge mendefinisikan tawa sebagai jarak terpendek di antara dua orang, maka saya memilih rokok sebagai gantinya.


Jutaan obrolan panjang setiap hari bermula dari rokok dan korek api yang berpindah tangan. Di antara sesama pengunjung warung kopi atau sebuah bar, antara seorang sopir dan penumpang kendaraan umum, hingga antarsesama anak sekolah di pinggir jalan.



Seorang wartawan tiba-tiba bisa menjadi seorang teman bagi narasumbernya, entah dia adalah tukang parkir atau seorang pejabat teras. Data demi data mengalir seiring kepulan asap yang keluar dari mulut masing-masing.


Seorang pendatang baru yang juga adalah perokok hampir pasti bisa lebih cepat beradaptasi di kantor yang penuh perokok. Dengan rajin ia akan menghadiri acara merokok bersama di halaman belakang; ikut ambil bagian dalam obrolan yang terlalu liar diungkap di meja kerja.


Dan tentu saja, percakapan setarikan rokok berpeluang menjadi hubungan percintaan. Bisa jadi seumur hidup. Bersama-sama menghabiskan ratusan batang rokok lain. Lalu bersama-sama (berusaha) berhenti di usia senja.


Merokok kadang juga menjadi penanda (praduga) akan sifat lain. Persahabatan dengan kafein, kadang juga bir dan alkohol. Kadang, meski tentu saja bukan penunjuk yang valid, juga tanda sifat orang yang menghindari ritual agama. Sebaliknya, tidak merokok juga menjadi penanda invalid orang yang minor, kurang berani, mungkin juga terbelakang.

Dalam semua hal di atas, saya menyayangkan bahwa saya bukan perokok.

Comments

Popular Posts