MOTHER MATTERS WAR

It’s a war. Perang opini antara ibu yang memilih bekerja kantoran dengan yang bekerja di rumah (yang  sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga dan atau sambil menghasilkan uang dari rumah) seakan tidak pernah selesai. Masing-masing merasa lebih baik.
Bagi saya, perang itu memang benar-benar terjadi. Tapi bukan antara para ibu. Melainkan di dalam diri sendiri. 

Jika kita sudah memilih berkarier sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga, dan masih merasa “terganggu” dengan stempel miring orang lain tentang kita, mungkin memang kita sendiri yang belum mantap mengambil jalan ini. Sebaliknya, jika kita sudah memilih jalan pulang pergi kantor setiap hari, dan masih merasa “terintimidasi” melihat ibu-ibu yang bisa menunggui anaknya sekolah, mungkin kita juga masih setengah hati menjalani keputusan itu. 

Saya? Saya menerima dan memilih tetap merasa “terganggu.” Saat berdesakan dalam kereta menuju kantor, saya masih dan terus berpikir “Someday I have to end this.” Saat melihat ibu-ibu yang dengan setia mengantar jemput anak mereka sekolah, saya berangan-angan ada di posisi mereka. Saya juga iri saat melihat ibu-ibu yang ngobrol di sore hari sambil menyiram tanaman atau mengajak anak jalan-jalan. Jelas itu sebuah kemewahan.

Tapi saya juga bangga menjadi diri saya yang sekarang. Bagi saya, bekerja kantoran membuat saya merasa menjadi orang yang lebih baik.  Memiliki ruang selain ruang domestik membuat saya merasa bermanfaat bagi banyak orang selain orang-orang di rumah. Apalagi saya bekerja untuk majalah perempuan. Saya merasa bisa “bicara” pada ribuan perempuan lewat setiap tulisan saya. 

Meski begitu, saya mengakui, ini bukan 100% hidup yang saya impikan. Mimpi saya adalah bekerja sebagai penulis lepas dari rumah. Tapi kemudian terjun bebas menjadi pekerja kantoran setelah menyadari salah satu kenyataan bahwa penghasilan freelance saya tidak bisa dihitung sebagai pendapatan untuk join income kredit rumah. Dan saya (ternyata) agak kesulitan menulis dengan keberadaan seorang bayi di rumah. Sesederhana, tapi juga serumit itu. Sekonyol, tapi juga segamblang itu. 

Saat saya dan suami berjalan keliling kompleks sambil menggendong anak, para tetangga memanggil-manggil nama anak saya,“Bima!” Hampir pasti mereka tak tahu nama orangtuanya. Saat berkunjung ke rumah-rumah tetangga di hari Lebaran, orang-orang berkata, “Oo, ini to mamanya Bima. Sibuk ya? Nggak pernah kelihatan. Saya cuma tahu babysitternya.” Ini jelas bukan hal yang membanggakan. Bahkan, yah… menyedihkan. 

Sebelum menikah (dan punya anak), saya juga berikrar untuk tidak menggunakan jasa babysitter. Sampai saat ini, saya masih merasa “ini bukan saya yang sebenar-benarnya” saat orang bertanya “Anaknya sama siapa di rumah?” dan saya menjawab “Sama babysitter” sambil tersenyum manis. Biasanya saya menambahkan kalimat “Yah, tipikal ibu-ibu metropolitan lah.” Itu kalimat yang sengaja saya buat untuk menghentikan keluarnya komentar negatif, atau sebaliknya, mengukuhkan stereotip “ibu-ibu kejam yang hanya mementingkan karir di atas anak.” Saya tidak begitu ambil pusing.


Meski masih merasakan “perang” dalam diri, saya cukup senang. Dengan semua cibiran, iri, prasangka, kagum. Dengan perasaan bersalah pada anak yang silih berganti dengan rasa lega karena bisa berkontribusi terhadap kebutuhan materi keluarga. Memang begini adanya. Kadang saya merasa tak harus memenangkan perang apapun. 
Life is a personal journey rather than a race

Comments

Postinganmu ini mewakili perasaanku. Menyuarakan apa yg ada di kepalaku. Ketika memutuskan resign alasan pertama memang bukan menjadi ibu rmh tangga, tapi untuk fokus nyari pekerjaan lain yg lbh terjangkau dr rumah.

Pandangan miring orang2 sekitar rumah ya gitulah, ttp ada. Tp kebetulan ortu-ku (aku msh nebeng) bs jd tameng dan mendukung keputusanku. Adalah patah hati ketika brgkt kerja anak masih tidur, ataupun sdh bgn dan nangis2 pas ditinggal, dan saat plg kerja dia sudah tidur. Ngerti bgt yg kmu rasain krn anak kita seumuran (dan lahir dgn dokter yg sama - oot hahahaha).

1,5bln di rumah akhirnya terjawab yg aku inginkan, pekerjaan baru dmana jarak kantor bersahabat, waktu tempuh lbh dekat. Sabtu masuk, tp 1/2hr, tak apa drpd tiap hari ga ktmu anak. Memang buat sbagian org itu bukan pemecahan terbaik. Tapi yg bs nentuin terbaik atau tidak adalah kita yg menjalaninya. Bekerja kembali membuat aku merasa 'penuh'. Bs membantu suami mencapai mimpi-mimpi kita bersama. *mberebes mili*

Nice post, rin :)
ilhabibi said…
yang jelas semua punya alasan masing-masing, selama itu beralasan dan yakin akan keputusannya, tak perlu pusing dengan omongan orang lain bukan?karena hidup kita yang jalani ya kita, yang merasakan kita sendiri.

istri saya pun ingin resign, karena ingin jadi ibu rumah tangga. tapi yang saya tekankan walaupun jadi ibu rumah tangga, tetap harus punya kegiatan yang berguna untuk orang banyak.

salam

Popular Posts