The Job That I'm (Not) Proud Of
If
your job is not your career (said career coach Rene Suhardono), then what kind
of job that will support your career? And what career do you choose? Do you proud of it?
Sejak awal saya tahu cita-cita saya
bukan jadi pekerja kantoran. It’s just
not the life that I’ve
been imagined. Buat saya, hal paling berharga yang dimiliki tiap manusia adalah
waktu. Dan meski bekerja adalah untuk mencari penghidupan, tapi menyerahkan waktu
8 jam (minimal) tiap hari, plus 2x2 jam perjalanan (kalau kerja di Jakarta)
untuk pekerjaan adalah hal yang berlebihan. TAPI…apa boleh buat, kondisi
keuangan freelancer yang serupa
sinyal HP di pedalaman membuat saya mesti ikut berdesakan juga di kereta dan
jalanan tiap hari demi ngantor.
Kantor
demi Kantor
Kantor pertama saya adalah
majalah gaya hidup untuk wanita. Aktivitas menulis dan mewawancara orang, di
manapun, selalu menyenangkan dan menjadikan kaya. Tapi terlepas dari usia si
majalah yang sudah 42, kesenangan menulis tetap akan terkalahkan dengan
manajemen dan sistem kerja (dan atasan!) yang buruk. Ada perbedaan besar antara media sebagai lembaga
independen dan media sebagai korporasi (sama seperti perbedaan antara informasi
dengan pengetahuan). Kantor tanpa visi, passion,
apalagi idealisme (meski masih ada ratusan ribu pelanggan yang setia
membacanya), membuat saya berhenti dengan mudah.
Kantor kedua…masih di majalah
wanita lain (katanya pekerjaan tetap pertamamu akan menentukan perjalanan
kariermu selanjutnya). Saya bisa bilang majalah yang juga sudah berusia 40-an
ini adalah sekolah menulis dan mungkin juga sekolah hidup terbaik. Idealisme
dan gaya tulisan dianggap penting. Dengan manajemen dan suasana kerja yang
menyenangkan (meski banyak event), saya bisa bertahan lebih lama. Tapi…persoalan
bekerja di semua media tetap sama: waktu. Saya harus menjual hampir seluruh
waktu saya, nyaris tanpa sisa. Tidak ada waktu untuk mengejarkan mimpi dan
rencana-rencana kecil (tapi sebenarnya besar).
What Do You Really Really Want?
Butuh
bertahun-tahun
hingga saya tiba pada titik kesadaran saat saya menanyakan pertanyaan yang
membunyikan gong besar di kepala: What
you really really want in life? Impian saya tentang hidup sebenarnya
terdiri dari rangkaian kegiatan sederhana sehari-hari: menyiapkan bekal sekolah
anak, mengetik dari sisi jendela rumah, menjalankan usaha yang tidak harus besar- tapi punya dampak signifikan, merapikan buku
di rak dan alas tempat anak-anak taman baca duduk membaca, dan yang pasti
berkata ya saat ibu saya minta diantar ke pasar. Oh, plus sesekali jalan-jalan
untuk volunteer dan mengumpulkan
bahan tulisan. Sesederhana, tapi juga serumit itu.
Rumit karena untuk menjalani
hidup “mewah” seperti itu, saya juga harus punya uang sendiri untuk hidup dan
menghidupi keluarga. Maka, kejujuran dan keberanian untuk bermimpi besar
pastilah harus diiringi kejujuran pada kemampuan dan kebutuhan sendiri.
Oleh karenanya, saya mau sebuah pekerjaan
dengan jam kerja tetap dan pasti: delapan jam sehari (dan itu bukan di media).
Datang jam 8, pulang jam 17. Sabtu Minggu, ngga kerja. Saya bisa memastikan
untuk berkata ya pada acara keluarga ataupun kegiatan volunteer. Tidak perlu pekerjaan level manajerial (meski
gajinya lebih tinggi). Penulis
saja, asal saya punya waktu dan masih ada tenaga serta ruang pikir sebagai
bahan bakar mimpi saya sendiri. Anehnya, semua kebutuhan itu terpenuhi di
tempat kerja terakhir saya. Saya bahkan bisa menentukan waktu sendiri. Mau
pulang jam 4? Datanglah jam 7 pagi. Mau izin untuk mengantar anak yang sakit ke
dokter? Bisa datang siang atau tukar hari kerja.
Pekerjaan yang ini jauh dari
hingar bingar sorotan kamera khas media, tidak ada undangan pertunjukan seni,
liputan jalan-jalan ke luar kota/negeri, tidak ada kesempatan bertemu tokoh.
Sayang? Mungkin iya. Tapi toh semua hal itu – di era ini – bisa dilakukan oleh
siapapun. Tidak mudah, tapi bisa. Dan saya ngga begitu peduli sih. Membeli
kembali waktu untuk bersama keluarga dan menjalankan mimpi-mimpi pribadi bagi
saya jauh lebih penting daripada mengikuti arus cepat tapi mungkin tak berarah.
Direction is more important than speed. Many are going nowhere fast.
Pada akhirnya, pekerjaan paling sempurna
barangkali adalah pekerjaan yang dapat kita desain sendiri, apalagi kalau
periuk nasi kita sudah tidak tergantung pada atasan – tapi milik sendiri. Tapi jika
masa itu belum dapat diraih, setidaknya pilih pekerjaan yang sesuai kebutuhan.
Sesuai kebutuhan. Sesuai kebutuhan, dan keinginan.
Bulan lalu, seorang teman saya
bilang, “Ini saatnya kamu ‘lebaran.’ Idealisme bertemu terpenuhinya kebutuhan finansial.” Benar juga. Bulan ini
saya akan pindah ke Malang. Alasan utama adalah untuk bersama orangtua saya
yang kini berusia 72. Selain itu, semua mimpi besar kecil saya bisa
dicapai dari mana pun. Sesederhana itu. Sesederhana waktu yang tidak bisa kita
beli. Pekerjaan saya? Syukurlah bos saya yang sedikit gila (baca: sangat
pintar), mengizinkan saya untuk bekerja dari Malang (atau tempat manapun).
Titik ini, sesederhana, tapi juga serumit itu untuk dicapai.
What you really want in life? To be happy! :) |
Comments