Tentang Kota dan Diri yang Berubah
Setelah satu dekade tidak
tinggal di Malang, saya mencoba mencari-cari penyebab mengapa kini saya sulit –
dengan segala hormat - menyebut kota ini sebagai rumah.
Saya kerap sok merasa bisa mengamini sabda Heraclitus: panta rei. Tidak
ada yang tetap selain perubahan. Tetapi sejujurnya,
seperti sebagian manusia lain, saya begitu lambat menerima kenyataan bahwa beberapa
hal yang sentimental juga tidak bisa tetap tinggal di tempatnya.
Pohon-pohon rindang yang menaungi saat saya terkantuk-kantuk berada di
atas becak yang bergerak perlahan, kini meranggas atau sudah tak ada. Hotel-hotel
tinggi menggantikan toko dan bedak lama, yang pedagangnya bahkan saya kenal
wajahnya. Kafe-kafe bertingkat penuh anak muda berfoto dengan tongkat, dan
rumah-rumah makan yang mengokupasi rumah-rumah lama peninggalan Belanda. Warung
kopi dan warung tegal di sekitar kampus tergusur apartemen (apart-men!). Sejak kapan sih mahasiswa yang biasa makan lesehan di kota ini merasa perlu tinggal di apartemen?
Saya bahkan sudah tidak lagi pulang ke rumah di mana saya pertama kali belajar
merangkak, serta jalanan perumahan di mana saya pertama kali bisa menaiki
sepeda roda dua. Rumah dinas ibu saya itu kini sudah rata dengan tanah. Sebentar lagi di atas
tanah di tengah kota itu akan berdiri bangunan perluasan kampus. Memang lebih
banyak mahasiswa atau sekedar lebih banyak dana yang masuk? Tidak jauh dari
sana, ada mall yang dulu setengah mati ditolak berdiri oleh para mahasiswa
karena berdekatan dengan kampus dan makam pahlawan. Toh kini mahasiswa yang
sama – yang sudah jadi bapak dan ibu – gemar mengajak keluarga mereka ke sana.
Kota, kata Karen Armstrong, adalah tempat tinggal para aristokrat-aristokrat
kecil. Dan para aristokrat ini entah bagaimana menjadi berperilaku serupa, baik
manusia maupun kotanya. Kini, bagi saya, kota yang pernah dingin dan pernah
kecil ini menjadi sama saja seperti kota besar lain di Indonesia: penuh pusat perbelanjaan dan tempat nongkrong dengan harga makanan berkepala tiga, macet, panas, penuh perumahan baru - dengan harga yang kadang tidak masuk akal - hingga jauh ke pinggir kota.
Dan karenanya jika rumah masih berupa sebuah tempat, maka saya tidak merasa sedang pulang. Hanya sekedar seperti berada di kota lain, meski sesekali saya melintasi sekolah masa kecil dan jalan-jalan menuju rumah teman. Kota ini sesak dengan kendaraan bermotor roda empat dan dua, yang pemiliknya gemar makan di luar dan bertandang ke pusat perbelanjaan.
Dan karenanya jika rumah masih berupa sebuah tempat, maka saya tidak merasa sedang pulang. Hanya sekedar seperti berada di kota lain, meski sesekali saya melintasi sekolah masa kecil dan jalan-jalan menuju rumah teman. Kota ini sesak dengan kendaraan bermotor roda empat dan dua, yang pemiliknya gemar makan di luar dan bertandang ke pusat perbelanjaan.
Kota dan Filosofi Makan di Luar
Cara makan adalah salah satu kegiatan penanda utama perubahan gaya hidup masyarakat sebuah kota. Rumah-rumah makan dan kafe yang penuh sesak, terutama di sore hari dan
di akhir pekan itu membuat saya bertanya-tanya: ke mana ya dulu saya,
teman-teman, dan keluarga saya menghabiskan waktu? Yang pasti tidak di kafe
atau rumah makan, karena tempat-tempat ini dulu tidak semasif kini. Jawabannya
di rumah, atau di rumah teman atau kerabat. Tetapi tentu saja kini sebagian kecil
kerabat dan sebagian besar teman sudah tidak lagi tinggal di kota ini.
Saat kecil hingga remaja, frase “makan di luar” adalah sesuatu yang
besar sekaligus asing bagi keluarga saya. Ini adalah kegiatan langka yang hanya
dilakukan saat merayakan sebuah peristiwa besar seperti komuni pertama saya (sebuah perayaan dalam gereja Katolik). Ibu saya lebih suka repot
memasak dan mengundang orang untuk datang ke rumah ketimbang tinggal duduk dan
memilih menu di rumah makan atas nama kepraktisan (atau apapun).
Perayaan-perayaan ulang tahun saya saat kecil semua diadakan di rumah,
dengan kue ulangtahun berupa cake biasa tanpa hiasan dan makan malam sekedar
bihun dan kerupuk. Tapi saat-saat itu selalu riuh dengan tetangga dan kerabat
yang datang. Kali lain, hanya sekali, ulang tahun saya diadakan di sekolah
taman kanak-kanak. Masih dengan kue-kue buatan ibu saya sendiri. Begitu saja
saya sudah merasa seperti orang kaya.
Teman-teman sekolah saya yang lebih berada juga merayakan ulang tahun
di sekolah atau rumah. Bahkan ketika rumah mereka adalah sepetak lantai tidak
luas di bagian atas sebuah toko. Saya selalu senang bisa berkunjung ke rumah
teman karena selain bisa tahu di tempat seperti apa teman saya ini tumbuh, saya
juga bisa kenal dengan seluruh anggota keluarganya, termasuk asisten rumah
tangga dan barangkali anjingnya.
Begitu juga dengan acara kelas seperti buka puasa. Saya masih ingat
senangnya berbuka bersama (meski saat itu tentu saya belum ikut puasa) di rumah
teman, duduk lesehan tanpa buru-buru. Kini, di mana lagi orang kota berbuka
puasa jika bukan di mall atau rumah makan. Tempat yang menyisakan kekhawatiran
dan kerepotan yang sebenarnya sungguh tak perlu: antrian panjang di depan kasir
untuk membayar makanan, dan yang lebih sedih, antri untuk sekedar beribadah
(kadang ujungnya jadi mendahulukan makan dengan mengabaikan ibadah).
Bagi orang-orang seperti ibu saya, makan di luar itu bahkan bukan
pilihan. Saat keluar rumah sekalipun, ia akan menunggu pulang ke rumah untuk
makan, meski itu berarti beliau makan siang pukul 14 atau 15. Saya sendiri
bahkan baru tahu bagaimana rasanya ayam KFC
itu di kelas tiga SD. Itupun karena diajak oleh seorang sepupu yang
sudah kuliah. Bukan oleh orangtua.
Meja makan di rumah orang tua saat Natal |
Di rumah kami, dapur dan ruang makan adalah jantung, di mana ibu saya
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyiapkan makanan. Dan barangkali hal
terbesar dari rasa “pulang” adalah tinggal bertemu dan makan masakan ibu saya
(yang selalu saya tiru saat kami jauh).
Pada akhirnya, kota ini meletupkan rasa yang berbeda dari 10 tahun lalu, sekaligus
rasa yang sama seperti tempat-tempat penuh roda empat lain. Ataukah kota ini sebenarnya masih sama, tetapi saya yang sudah berubah? Atau saya yang masih mencoba
menjadi atau mengharap yang sama, tetapi kota ini sudah berlari ke arah yang tidak saya duga? Mungkin
lebih tepatnya saya dan kota ini sama-sama berubah dan tidak lagi dapat
bergenggaman tangan meski bukan berarti merenggang. Barangkali hanya sekedar
dapat berdiri bersisian.
Dan pada akhirnya, saya harus berdamai menerima kenyataan bahwa rumah
itu - kata salah satu penulis favorit saya, Cecelia Ahern, ternyata bukan
(sekedar) tempat - tapi perasaan. Home is not a place. It’s a feeling. Tidak ada satupun tempat
di dunia ini yang tinggal tetap dan selalu lengkap. Rumah saya adalah...di
manapun, bersama keluarga saya.
Comments