KRL itu MAHAL lho!

Bagi saya, Jakarta tak hanya identik dengan mall-mall full AC dan gedung-gedung berisi orang-orang berpakaian elegan yang mondar-mandir sambil berbicara lewat handphone tipe terbaru-nya. Saya baru benar-benar mengenal Jakarta ketika saya ada di dalam…kereta ekonomi dalam kota.

Bagi Anda yang tidak tinggal di Jakarta, atau pernah berkunjung ke Jakarta tapi tak sempat naik kereta ekonomi, mungkin sulit untuk membayangkan situasi yang saya deskripsikan di bawah ini (seperti saya dulu). Tapi jika Anda datang (lagi) ke ibukota, cobalah naik alat transportasi yang satu ini saat akan berwisata ke Ragunan dan semacamnya.

Mungkin akan membuat Anda (jika ada yang ingin tinggal di Jakarta) berpikir dua kali untuk menetap di sini.

Bagi saya, kereta ekonomi adalah alat transportasi yang…

- MAHAL! Karena meskipun harga tiketnya hanya Rp 1500, diperlukan kejujuran untuk benar-benar membeli tiket tersebut daripada bilang “Abonemen!” ke pemeriksa karcis sehingga tak ada kewajiban bayar tiket, atau yang lebih parah bayar di tempat (masuk ke kantong si pemeriksa karcis) seperti yang biasa dilakukan orang-orang. Dan dengan harga itu, di jam-jam sibuk, kecil sekali kemungkinan untuk dapat tempat duduk. Sehingga yang perlu Anda lakukan adalah berusaha secepat mungkin mengalahkan penumpang-penumpang lain untuk naik ke dalam kereta dalam hitungan detik, dan berusaha sedikit egois untuk mendapatkan sedikit tempat untuk setidaknya menjejakkan kaki di suatu tempat dalam kereta.

- MAHAL yang kedua. Meskipun Anda ingin pergi ke (misal) Jakarta Pusat, kereta yang Anda naiki belum tentu mengantarkan Anda tepat ke tempat tujuan. Kadang Anda harus pasrah pindah ke kereta lain karena masinis kereta yang telah Anda tumpangi itu memutuskan berhenti di (biasanya) Stasiun Manggarai.

- MAHAL yang ketiga. Lagi-lagi meskipun harga karcisnya hanya Rp 1500, tapi Anda akan menghabiskan 10 kali lipat lebih mahal dari jumlah itu jika Anda memutuskan untuk berempati dan memberikan beberapa dari isi dompet Anda kepada setiap pengemis, pengamen jadi-jadian, dan “penodong.”

- MAHAL yang keempat, karena taruhannya nyawa. KA ekonomi telah menjadi TKP belasan atau bahkan puluhan nyawa melayang setiap tahunnya. Bisa karena tertabrak kereta, atau karena (dengan bodohnya) naik ke atap kereta, atau karena…pembunuhan dalam kereta.

- MAHAL yang kelima, karena 3 dari 10 teman saya yang sering bepergian dengan kereta mengaku pernah kecopetan. Jadi sebaiknya jangan bawa barang berharga, atau peganglah semua barang Anda erat-erat dalam kondisi waspada.

- Naik kereta ekonomi juga akan membuat Anda berpikir bahwa data pemerintah tentang angka kemiskinan yang menurun mungkin adalah sebuah kebohongan.

- Selain itu berada dalam kereta ekonomi membuat Anda percaya bahwa orang Indonesia (bahkan kaum urban Jakarta) memang lebih suka membaca “Lampu Merah,” “NonStop,” “Warta Kota” dan sejenisnya, koran-koran yang hanya berisi artikel tentang percabulan dan gosip daripada membaca berita yang memang patut menjadi perhatian.

- Dua dari beberapa kejadian terburuk dalam hidup saya alami di dalam kereta ekonomi. Saya pernah duduk di sebelah seorang eksibisionis. Membuat saya ketakutan setengah mati dan menyadari bahwa bantuan yang bisa saya berikan kepadanya hanya sebatas duduk diam dan berdoa. Karena jika saya mencoba berinteraksi dengannya, nyawa saya bisa menjadi taruhannya.

Satu kejadian terburuk lain adalah menyaksikan seorang perempuan menganiaya seorang anak kecil (entah anaknya, atau adiknya, atau anak “pinjaman”) karena si anak tak mendapat uang sepeserpun dari hasil mengemis.

Saya meraih pundak si anak yang memang sedang berada tak jauh dari tempat saya berdiri, berharap mungkin saya bisa melindunginya dari pukulan si perempuan dalam beberapa detik saja. Tapi akhirnya saya lepas juga pundaknya ketika si penganiaya menatap tajam mata saya seakan ingin berkata “bukan urusanmu!”

Saya menatap sekeliling saya, berharap ada orang yang lebih kompeten untuk setidaknya menghentikan tindakan si perempuan (ngomong2, orang Komnas Anak nggak pernah naik kereta ya? Sepertiga dari orang-orang yang “bekerja” di kereta kan di bawah umur). Tapi rupanya orang-orang Jakarta ini memang terlalu lelah untuk berempati (bisa dimaklumi, mengingat terlalu banyak hal menyedihkan di sekitar mereka. Sehingga cara termudah adalah diam). Hanya seorang bapak dan seorang ibu yang berkomentar melihat adegan kekerasan itu. “Kasar amat!” begitu kata mereka. Hanya itu.

Comments

Popular Posts