Ayo Buang Sampah, Tebang Pohon SEMBARANGAN!

Ini cuplikan berita yang saya dengar pagi ini (11 Febr.’07) :

Setelah banjir yang menewaskan lebih dari 80 orang, kerugian materi hingga milyaran rupiah, dan lumpuhnya kegiatan ibukota selama sepekan…akhirnya berbagai pihak sepakat untuk memperhatikan masalah lingkungan.

(Dalam hati gw : Woii…ke mana aja loe …?!!)

“Aqua gelas yang dingin, Bang!” Setelah tegukan terakhir, teman lama saya ini menjatuhkan gelas kosong itu ke trotoar sambil terus berjalan. Begitu saja, seakan-akan dia sudah melakukannya ribuan kali dalam hidupnya. Saya berhenti, memungut gelas itu dan memasukkannya ke dalam tas karena tak terlihat satupun tong sampah terdekat. Teman saya ini memandang saya lalu berkata, “Masih tetep aja.. Idealis.” Saya balik menatapnya. Marah. Tapi saya sedang malas berdebat di tengah panas dan ributnya Kuningan.

Bukan! Ini bukan masalah idealisme saya atau siapa pun. Tepatnya ini bukan (saja) masalah saya. Entah bagaimana membuat dia (yang bahkan telah lulus kuliah itu) mengerti hubungan antara tindakan (yang tampaknya remeh) seperti membuang sampah dengan sesuatu yang lebih besar dari sekedar idealisme.

Beberapa bulan kemudian (yaitu minggu ini), tempat tinggalnya di kawasan Rasuna Said tenggelam oleh banjir. Dengan mengumpat, ia bercerita bahwa jalanan di depan tempat kos-nya penuh sampah yang dibawa (atau yang jadi salah 1 penyebab?) banjir. Saya jadi ingat “perbuatannya” beberapa bulan lalu itu.

“Ya…itu kan sampah-sampah yang biasa lo buang sembarangan juga,” jawab saya datar. Ia diam untuk beberapa lama. Hhh…saya berharap semoga otak cum laude-nya itu sekarang bisa berpikir sebentar tentang hal ini.

Lahir dan besar di sebuah kota kecil di dataran tinggi, saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kebanjiran. Bahkan saat Jakarta jadi lautan, saya tak ikut merasakannya karena tempat saya tinggal lebih tinggi dari kota itu.

Saat hujan nyaris tak berhenti selama berhari-hari, sebagian orang sibuk mengungsi, sementara yang lain sibuk mendistribusikan bantuan dari posko-posko banjir. Sementara entah kenapa selama beberapa hari pertama saya hanya…diam.

Saya hanya memperhatikan genangan air penuh sampah yang merendam kaki saya saat saya akhirnya harus pergi juga ke pusat kota. Saya memandang heran pada anak-anak yang tertawa-tawa terkena cipratan genangan air dari bus yang saya tumpangi. Saya melihat dengan sedih halte-halte busway yang berubah fungsi menjadi tempat pengungsian. Saya bingung menonton berita, melihat pemda Bogor dan Jakarta saling tuding menyalahkan dan melempar kesalahan.

Saya merasa terpojok, tak bisa menjawab, ketika guru dan teman kursus bahasa saya yang berkewarganegaraan asing bertanya pada saya, “Jika semua orang tahu bahwa akan ada banjir tiap tahun, dan setiap 5 tahun sekali akan banyak orang meninggal karenanya, mengapa pemerintahmu tak melakukan apa-apa untuk setidaknya membuat segalanya lebih baik?”

Dan akhirnya saya memandang dengan penuh kemarahan terhadap Gubernur Sutiyoso yang mengunjungi korban banjir. “Kebijakan” pembuatan busway dan monorel-nya telah sukses menghancurkan ribuan pohon yang tadinya berfungsi sebagai taman kota dan resapan air. Dan sekarang dengan senyum murahannya ia berkata ringan, “Penanganan bantuan untuk korban banjir ya sama lah seperti tahun-tahun lalu.” Atau seperti Aburizal Bakrie yang berkata bahwa media terlalu membesar-besarkan masalah banjir.

Tapi saya juga tak habis pikir dengan warga di sekitar sungai (dan di manapun) yang dengan sadar dan ikhlas masih saja membuang sampah di sungai…di sembarang tempat khususnya di seluruh pelosok Jakarta ini, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun seperti teman saya.

Yang paling tidak bisa saya pahami adalah mereka yang dengan gelar dari universitas luar negerinya dengan bangga membangun puluhan rumah mewah, gedung-gedung bertingkat, tapi tidak disertai drainase dan cukup puas menggunakan tanaman plastik dengan alasan kepraktisan.

Since we’re living in a land of thousand disasters, ditambah dengan keahlian orang Indonesia membuat bencana hasil kreasi sendiri, BODOH BANGET kalau kita sampai sekarang masih tenang-tenang saja dan menganggap ini semata-mata urusan pemerintah atau siapapun selain diri sendiri.

Comments

Popular Posts