HARI INI TIDAK ADA TEMPE

“Hari ini nggak jual tempe, Mbak!” kata pelayan warung makan dekat kos saya saat saya akan makan pagi di situ. “Hah?! Kok bisa?” Saya tak percaya. Tapi Nami, nama si pelayan, tidak menjawab pertanyaan saya dan langung sibuk melayani pembeli lain. Baru hari ini dalam sejarah hidup saya, saya tidak menemukan tempe di sebuah warung makan (kecuali di beberapa bagian lain di Indonesia yang memang jarang mengkonsumsi tempe). Emang tempe ada musimnya? Kalau hari ini tidak ada udang atau buah nangka, saya bisa memaklumi.

Tapi ini kan negara tempe! (dengan mental tempe juga. He2) Saya besar dengan tempe. Hampir setiap hari saya makan tempe, lauk yang menjadi solusi bagi ibu saya sebagai perempuan pekerja yang harus masak dengan cepat. Gimana hari ini bisa nggak ada tempe?! Masa’ iya Nami lupa beli. Gorengan tempe di warung itu kan selalu habis kurang dari sejam setelah digoreng. Huuu...akhirnya saya harus merelakan hari ini tanpa tempe.

Sore hari, saat menonton berita di TV, pertanyaan saya terjawab. “Ratusan pedagang tahu dan tempe berunjuk rasa karena kenaikan harga kedelai yang mencapai lebih dari dua kali lipat. Setengah dari para pedagang seJabodetabek itu gulung tikar karena tak mampu memproduksi tempe dan tahu lagi.” Karena demonstrasi itu, hari ini (14 Januari 2008) memang tidak ada tempe di Jabodetabek. Wah wah wah... Gawat bener. Kalau pemerintah tidak bisa menstabilkan harga tempe, bisa-bisa nggak akan ada tempe lagi.

Saya jadi ingat Haji Ikrom, pengusaha kripik tempe di Malang yang beberapa bulan lalu pernah saya wawancarai. Lewat pembicaraan itu saya baru tahu bahwa kripik tempe yang biasa saya makan itu dibuat dari kedelai impor dari Amerika dan Cina. Bukan karena gaya. Tapi karena berdasarkan pengalamannya, kripik tempe yang baik hanya bisa dihasilkan dari kedelai impor. Menurut Ikrom, tahun 1980 – 1990an kualitas kedelai lokal memang lebih bagus dari kedelai impor. Awalnya mereka juga menggunakan kedelai lokal. Tapi setelah 1990-an kedelai impor lah yang kualitasnya lebih baik (kenapa ya?). Kedelai lokal hanya baik untuk dijadikan tahu, tapi tidak dengan tempe. Kedelai impor yang dikirim ke Indonesia hanya untuk dikonsumsi, tetapi tidak bisa ditanam di Indonesia. Sedangkan harga keduanya relatif sama. (man!!)

Bukan hanya itu saja. Yang lebih mengganggu pikiran saya adalah sekarang saya sedang semangat-semangatnya belajar tentang investasi di komoditas (Tentu saja hanya sekedar ingin tahu. Saya belum punya uang puluhan juta untuk saya pertaruhkan). Saya kurang paham mekanismenya, tapi yang saya tahu harga kedelai ini memang mau tidak mau didasarkan pada harga di pasar bebas. Dan di saat harga kedelai naik, para traders yang berinvestasi di komoditi ini dan sedang memasang posisi jual pasti akan mendapat keuntungan berlipat ganda. Sementara... di saat yang sama para pengusaha tahu tempe menuju ke kebangkrutan. Hmm... =’(

Comments

Anonymous said…
Hmm..
Bagaimana dg produsen susu kedelai dan kecap..?
hehe...
Anonymous said…
Untungnya Jogya masih punya banyak kaki lima yang menjual tempe/tahu sampai sekarang...^__^) ehm, yummy.
Wahai para pengusaha tempe, tetap bikinlah tempe yang enak, walaupun mahal, pastilah dicari...jangan kalah ma Jepang yg berani2nya patenkan 'tempe' buatannya. Kagak yakin deh rasanya.

Popular Posts