Bila Aku Mati...

Di desa, di kota, di seluruh belahan dunia, manusia berlomba-lomba memiliki tanah.
Seluas-luasnya. Sebanyak mungkin. Di mana pun. Terutama di tempat strategis.
Untuk warisan, untuk membangun rumah, untuk dijual lagi, untuk dihadiahkan.
Tak tahu sampai sebanyak apa sehingga bisa dikatakan “cukup.”
Hingga Leo Tolstoy pernah bertanya:
Berapa sebenarnya luas tanah yang diperlukan seorang manusia?
Jawabannya, cukup untuk membangun satu rumah saja : Rumah masa depan. Letaknya jauh dari strategis. Kalau bisa sejauh mungkin dari pusat kota (kecuali kau seorang yang menurut dunia cukup hebat untuk dikategorikan sebagai “pahlawan.”)
Bukan rumah bagi jiwa atau roh, tapi hanya bagi tubuh manusia yang akan segera kembali menjadi debu.
Saat itulah pertanyaan di atas terjawab :
Ternyata pada akhirnya seorang manusia hanya memerlukan tanah sepanjang ukuran badannya.
Hanya seluas itu.

(PS : Tubuh manusia bahkan masih berebut tempat setelah mati. Terakhir datang ke rumah masa depan, saya mendapati kavlingnya sudah semakin terbatas, bersesakan. Nisan saling bertabrakan. Kuburan bertumpuk di atas kuburan lain. Membujur, melintang.
Melihat pemandangan itu, Budhe saya yang seorang Hindu berkata sambil tersenyum, “Nanti aku nggak akan menuh-menuhin tempat ini kok!” Saya ikut tersenyum sambil mengingat upacara kremasi Pakdhe yang telah lebih dulu kembali ke Sang Pemilik Hidup. Debu kembali menjadi debu)

Comments

Popular Posts