Apa Kata Tuhan tentang Orang Gila?

Jika saya diajar untuk mengasihi semua orang tanpa terkecuali, berarti saya juga harus bisa berbagi kasih dengan mereka. Tapi bagaimana? Berada dalam jarak beberapa puluh meter saja dari mereka saya sudah ingin lari. Takut diikuti, dikejar, sampai dibunuh. Semua kemungkinan, yang paling konyol sekalipun, membayangi otak paranoid saya.

Sialnya (atau saya harus bersyukur?) ada orang gila yang sudah berminggu-minggu menetap beberapa ratus meter dari jendela kamar kos saya! Ia menganggap bangunan tua tak beratap di seberang kos saya sebagai rumahnya. Tolong! Saya bertetangga dengan perempuan gila!

Dari jendela kamar, saya bisa memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tak banyak yang dilakukannya. Pada pukul 07.00 saya melihatnya tidur dengan posisi menyamping, 5 jam kemudian setelah saya pulang dari kampus, ia masih ada dalam posisi yang sama. Kira-kira ia tidur 16 jam sehari, lalu duduk diam dan tertawa-tawa kira-kira 4 jam sehari, sisanya berjalan-jalan ke sana-sini.

Tadinya saya berpikir, bagaimana ia bisa tetap hidup tanpa makan. Awalnya saya berniat membawakannya makanan (tentu saja dengan ditemani seorang teman yang pemberani untuk mendekatinya). Syukurlah, ternyata setiap hari Pak RT membawakan makanan untuknya. Jadi saya tak terlalu merasa berdosa karena membiarkan “tetangga” dekat saya mati kelaparan.

Saya jadi sering membayangkan bagaimana hidup jadi orang gila. Kalau saya sakit fisik atau cacat tubuh, tapi pikiran saya waras, saya masih bisa melakukan pekerjaan favorit saya, membaca, atau ngobrol dengan ibu saya. Tapi kalau yang sakit jiwa & pikiran saya? Saya bahkan tak tahu apakah mereka masih bisa berpikir. Karena itu saya benar-benar tak tahu bagaimana saya bisa menolong orang sakit jiwa.

Menurut Sigmund Freud, setiap orang punya unsur kegilaan dalam dirinya masing-masing. Mereka yang tak bisa mengalahkan kegilaannya sendiri itulah yang jadi seperti si perempuan tetangga saya itu. Wah, tentu saja dalam diri saya ada sisi negatif yang nyaris tak terkendali. Tiba-tiba saya merasa kesal karena tak pernah ada yang mengajari saya bagaimana cara menghadapi orang gila. Siapa tahu suatu saat saya harus berhadapan dengan orang gila terdekat yang lain, yaitu diri saya sendiri.





Comments

Popular Posts