Laporan Pandangan Hati dari Natal di YPAC

Kita sama-sama cacat. Bedanya adalah ketidaksempurnaan fisik mereka bisa dilihat semua orang. Tapi cacat kita tidak kasat mata." (somewhere in a book I read)

Banyak perkara yang tak dapat kumengerti. Mengapakah harus terjadi, di dalam kehidupan ini. Satu perkara yang kusimpan dalam hati, tiada satu pun 'kan terjadi tanpa Allah Peduli.

Allah mengerti, Allah peduli

Segala persoalan yang kita hadapi.

Tak akan pernah dibiarkannya kubergumul sendiri s'bab Allah peduli


Dua teman baru kami menyanyikan lagu di atas. Salah satu dari mereka duduk di atas kursi roda. Mereka tak dapat melihat kami. Tapi senyum mereka mengembang ketika mendengar kami ikut menyanyikan lagu di atas. Baru setengah lagu dinyanyikan, tapi air mata sudah membanjiri wajah kami yang mengunjungi mereka. Bagi saya, ini air mata haru dan kasihan. BUKAN kasihan pada MEREKA. Tapi kasihan pada DIRI saya sendiri.

Dengan segala keterbatasan fisik itu, mereka menyanyikan lagu itu dengan penuh keyakinan, bahwa Allah MEMANG mengerti keadaan mereka. Saya juga sering menyanyikan lagu itu. Bedanya, saat ada masalah, saya merasa seakan-akan saya adalah orang paling malang sedunia. Semakin malang lagi karena meskipun saya bernyanyi, "Allah mengerti, Allah peduli..." tapi dalam hati, saya masih sering khawatir akan banyak hal. Kekhawatiran yang hanya membuktikan bahwa saya tak sungguh-sungguh percaya bahwa Dia benar-benar mengerti dan menjaga saya.

"Hai kak...Kenalan dong!" Sebuah tangan kecil meraba pundak saya. Menyadarkan saya dari lamunan. “Aku Viska...kakak siapa?" Gadis kecil itu tersenyum lebar, tapi wajahnya tidak terarah pada saya. Tahu lah saya, dia juga tidak bisa melihat. Tapi keceriaannya mengalahkan ekspresi gembira orang yang mempunyai penglihatan baik. "Aku Rini..."

"Kakak suka nyanyi nggak? Aku suka..." Lalu dia bercerita tentang kecintaannya pada Ungu, Peterpan, dan Agnes Monica. Aku senang ngobrol dengannya.

Sementara itu di sisi kanan saya, ada seorang anak yang tak bisa mendengar dan bicara, hanya bisa melihat. Sedetik saya membayangkan betapa sepi dunia di matanya.

Si bocah tak bosan-bosan menarik tangan saya dan menunjuk- nunjuk pohon natal di atas panggung. Melihat saya bingung, ia mengambil kertas, lalu menggerakkan jarinya membentuk garis-garis tertentu. Rupanya begitu caranya berkomunikasi dengan orang. Saya merasa sangat sedih tak bisa memahami bahasanya.

Di perjalanan pulang, saya sadar bahwa sebenarnya BUKAN kami yang mengunjungi dan menghibur mereka. Tapi sebenarnya Ia yang lewat mereka telah menegur dan mengetuk hati kami. Mengingatkan kami untuk lebih bersyukur atas setiap hal besar dan kecil, baik dan buruk yang boleh terjadi dalam hidup kami. Dan menyadari bahwa...ketidakmampuan kami untuk bersyukur dalam keadaan sesempurna ini, tak ada bedanya (atau bahkan lebih buruk) dengan ketidakmampuan mereka untuk berjalan / mendengar / melihat / berbicara, tapi selalu mampu bersukacita.

Comments

Popular Posts