What's NOT Cool in School

Suatu hari saya melihat pengumuman pemenang karya tulis ilmiah di kampus. Salah satu judulnya adalah “Tinjauan Kritis terhadap penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMU.” Saya jadi ingat…bahwa beberapa tahun lalu ada masa dalam hidup saya dan dalam hidup jutaan anak SMU lain di mana penjurusan menjadi momen hidup mati. Perebutan kepentingan antara keinginan orangtua, ikut trend, “pride,” masa depan, cita-cita, dan suara hati. Mana yang menang, mana yang kalah, mana yang mengalah atau dimenangkan. Tak jelas batasnya.

Entah apa yang membuat ada 7 kelas IPA, hanya 1 kelas IPS dan tak ada kelas bahasa di SMU saya. Saya masih ingat ada yang berusaha setengah mati keluar dari kelas IPS untuk masuk IPA. Seakan-akan masuk IPS adalah vonis mati. (Toh setelah lulus orang-orang itu ada yang kembali juga ke jurusan IPS).

Bicara tentang vonis mati, disadari atau tidak, sekolah sering melembagakan sebuah jenis intelegensia tunggal yang menyingkirkan jenis kepandaian lain menjadi label nomor kedua, ketiga, dan seterusnya. Vonis mati bagi yang tak memenuhi stándar nilai akademis untuk kemudian diberi cap “bodoh” yang dikonstruksi masyarakat. Padahal seharusnya para akademisi juga tahu bahwa manusia mempunyai kepintarannya masing-masing. Emosional, spiritual, dan sebagainya. Pintar berhitung hanya salah satunya.

Vonis mati yang lain diperuntukkan bagi anak-anak yang tak betah duduk diam di kelas dan sering bolos, untuk kemudian dicap “nakal.” Seingat saya, cap-cap itulah yang disandang sebagian besar teman-teman saya, terutama yang pria di kelas IPS. “Aku kan sampah masyarakat,” kata salah satu temanku waktu itu sambil tertawa. Dia bercerita bahwa salah seorang guru kami menyebutnya begitu setelah mendapati dia terlambat masuk kelas untuk kesekian kalinya. Fakta yang tidak diketahui guru saya, teman saya yang disebutnya sampah masyarakat ini telah memiliki penghasilan sendiri di atas sejuta. Sesuatu yang langka untuk anak SMU. Bahkan teman saya yang juara kelas pun tak punya otak bisnis sehebat si “sampah masyarakat.”

Masa-masa di SMP juga tak kalah buruknya. Pembagian kelas ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai ujian di SD. Ada 4 kelas di SMP saya dulu. 1A sampai 1D. Kelas kami, 1D, adalah kelas dengan murid-murid yang kata guru-guru disebut anak pintar-pintar. Kemudian 3 kelas lain bisa diranking menjadi kurang pintar, biasa saja, atau…tidak pintar. Guru-guru memborbardir kami, kelas 1D dengan kata-kata fantastik,”Kalian adalah motor semua kelas 1. Kalian harus lebih berprestasi,” dan sebagainya. Entah apa dampak kata-kata ini terhadap kami. Apakah kami semakin terpacu berprestasi, merasa dikejar-kejar kompetisi, atau malah sombong.

Tapi yang sering saya pikirkan sampai sekarang adalah… bagaimana dengan kelas yang dianggap ada pada ranking paling akhir? Apa yang diakatakan guru-guru pada mereka? Apa yang mereka rasakan berada di kelas yang diberi label “terakhir”? Apa dampaknya bagi mereka di masa yang akan datang (baca: sekarang)? Apakah selamanya mereka akan berpikir bahwa mereka “bodoh” atau tidak berhak menjadi yang terbaik karena begitulah dulu mereka diperlakukan? Parameter siapa yang dipakai?

Saya sendiri tak akan pernah lupa bahwa perjalanan saya ke universitas ini diawali dengan masuk ke SMU dengan danun di urutan ke 200-an dari total 250 calon siswa. IQ saya waktu itu hanya 108. Angka paling rendah di kelas. Thnx God, Tuhan tak membiarkan saya percaya bahwa kemampuan saya hanya bisa diterjemahkan dengan angka.

Penjurusan IPA, IPS, Bahasa juga tak seharusnya menjadi ukuran seseorang pintar atau tidak. Saya setuju usaha pemerintah mengangkat pamor sekolah kejuruan (SMK), karena bangsa ini perlu lebih banyak orang yang setidaknya bisa mengerjakan satu bidang dengan keahlian tinggi, daripada cuma banyak bicara tapi tak siap kerja.

Dan teman-teman saya di SMU…masa-masa ini adalah saatnya kamu mulai…kamu ingin jadi apa 10 tahun lagi?




Comments

Anonymous said…
Ha3x..
IPA atau IPS cuma jalan aja. Ke Jakarta juga gak harus lewat Semarang.. Jalan masih panjaaaangg.. ^_^

Popular Posts